KUNJUNGAN
PRAKTIKUM DI LABORATORIUM HAMA DAN
PENYAKIT KEDU TEMANGGUNG
I. Tujuan Praktikum
1. Dapat
mengetahui identifikasi penyakit tanaman dan cara menentukan gejala penyakit
pada tanaman dan mengetahui jenis penyakit pada tanaman tersebut.
2. Dapat
mengetahui teknik perbanyakan jamur
mikoriza pada tanaman.
3. Dapat
mengetahui pengaruh Trichoderma sp pada tanaman.
4. Dapat mengetahui pengaruh PGPR pada tanaman.
II. Tinjauan Pustaka
Setiap makluh hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknya
suatu komonitas yang mampu mengatur dirinya sendiri secara alami sehingga
terjadi keseimbangan numerik antara semua unsur penyusun komonitas. Setiap
aktifitas organisme dalam komonitasnya selalu berinteraksi dengan aktifitas
organisme lain dalam suatu keterikatan dan ketergantungan yang rumit yang
menghasilkan komonitas yang stabil. Interaksi antar organisme tersebut dapat
bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti simbiotik. (
Untung, 2006 ).
Menurut Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000).
Ekosistem adalah kesatuan komonitas bersama-sama dengansistem abiotik yang
mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh
komonitas makluh hidup bersama-sama dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur
fisik lain yang terdapat di sawah tersebut. Konsep ekosistem, seperti konsep
biofer menekankan hubungan dan saling ketergantungan yang tetap antara
faktorfaktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan.
Dalam kurun waktu tertentu ekosistem alami dapat
menjaga sifat-sifatnya dengan cukup konstan, terutama karena desakan-desakan
yang dibuat oleh lingkungan fisik bersama sama dengan lingkungan timbal balik
baik intra maupun antarspesies. Salah satu mekanisme
tersebut
adalah predasi (peristiwa mangsamemangsa). Sifat mangsa-memangsa tersebut akan
terus berlangsung dalam kehidupan dan dalam ekositem dan disebut dengan rantai
makanan. Rantai makanan tersebut akan berlansung sepanjang masa, antara
herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora (musuh alami). Tanaman juga disebut
dengan produsen dan pemakan produsen disebut sebagai konsumen.
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara
berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan
ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah
: 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani
meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi
tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat
penggunaan
pestisida yang berlebihan (Anonim, 2004).
Mengingat bahaya yang sangat besar yang dapat
ditimbulkan karena penggunaan pestisida kimia, perlu adanya usaha untuk
meniadakan penggunaan pestisida kimia namun tetap mampu meningkatkan hasil
pertanian. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan penggunaan
pestisida nabati, yaitu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk melindungi tanaman dari serangan
hama.
Pertumbuhan tanaman tidak hanya terjadi pada bagian atas (tajuk) tanaman,
tetapi juga terjadi pada bagian bawah (akar) tanaman. Akar menentukan kemampuan
tanaman untuk menyerap nutrisi dan air, pertumbuhannya ditentukan oleh area
daun yang aktif melakukan fotosintesis karena akar bergantung pada penangkapan
energi oleh daun. Pada saat suplai energi terbatas, maka energi yang ada
digunakan oleh jaringan tanaman yang paling dekat dengan lokasi fotosintesis.
Oleh karena itu akar menerima energi hanya pada saat ada kelebihan energi yang
diproduksi melalui fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan tajuk
tanaman (Desmawati, 2008).
Proses pertumbuhan tajuk dan akar merupakan proses yang saling berkaitan
satu sama lain. Apabila terjadi gangguan pada salah satunya maka akan
menyebabkan gangguan pada bagian lainnya. Misalnya pada kondisi kekurangan air
dan nitrogen, pertumbuhan tajuk lebih mengalami hambatan daripada bagian akar.
Hal ini disebabkan akar bertugas lebih banyak untuk mencari air dan sumber N
dari dalam tanah untuk didistribusikan ke bagian tajuk. Pada saat ketersediaan
air memadai maka pertumbuhan tajuk kembali ke arah normal sehingga distribusi
fotosintat ke akar juga kembali normal (Ashari, 1995).
Tanaman membutuhkan sedikitnya 13 unsur hara untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Beberapa unsur berada dalam bentuk tersedia dalam semua jenis
tanah, sedangkan lainnya dalam bentuk tidak tersedia sehingga membutuhkan
tambahan dari luar tanah dalam bentuk pemupukan. Unsur hara ini berperan
sebagai nutrisi bagi tanaman, sedangkan sistem yang mengendalikan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman adalah substansi kimia yang konsentrasinya sangat
rendah, yang disebut substansi pertumbuhan tanaman, hormon pertumbuhan tanaman
(fitohormon), atau pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulator / PGR)
(Gardner dkk., 1991).
Usaha untuk mengendalikan patogen umumnya dilakukan
dengan menggunakan bahan kimia atau pestisida. Petani sebagai pelaku utama
kegiatan pertanian seringkali menggunakan pestisida sintetis terutama untuk
patogen yang sulit dikendalikan seperti patogen soil borne, virus. Petani
cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan
dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. penggunaan pestisida yang
berlebihan dan terus menerus telah menunjukkan suatu dampak negatif seperti
timbulnya resurjensi hama atau patogen ke dua, resisten jasad patogen, matinya
musuh-musuh alami sehingga mengganggu keseimbangan eksosistem. Umumnya petani
melakukan hal tersebut karena modal yang telah dikeluarkan untuk produksi sudah
cukup besar, sehingga mereka tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha
taninya. Disamping itu ketertarikan para petani menggunakan pestisida kimia
disebabkan karena para konsumen bisanya mencari produk yang bersih dan cantik
terutama untuk hortikultura serta kurang tersedianya bahan pengendalian non
kimia yang efektif sehingga sampai saat ini pestisida sintetis masih menjadi
primadona petani (Istikorini, 2002).
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan
mutu lingkungan maka usaha pengendalian hama dan penyakit sekarang lebih di
arahkan kepada pemanfaatan musuh-musuh alami hama dan patogen yang lebih kita
kenal dengan pengendalian secara hayati. Pengendalian penyakit tanaman secara
hayati dalam arti luas adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau
pengurangan jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan
mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia (Campbell, 1989).
Pengendalian
hayati ini dapat meliputi: 1). pergiliran tanaman dn beberapa system
pengelolaan tanah, pemupukan, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi mikroba
tanah, 2). Menempatkan atau menambahkan lansung mikroba antagonistik pada
patogen atau yang sesuai dengan tanamannya, 3). Penggunaan bahan kimia untuk
merubah mikroflora serta 4). Pemuliaan tanaman yang diketahui dapat merubah
genom tanaman yang dapat mempengaruhi mikloflora baik pada pilosfere maupun
rizosfere.
Dalam arti sempit pengendalian penyakit secara hayati
adalah penambahan suatu mikroflora antagonis secara buatan ke dalam lingkungan
untuk mengendalikan patogen. Pengendalian hayati dapat juga didefinisi sebagai
upaya pengurangan kepadatan inokulum atau pengurangan kegiatan patogen atau
parasit baik pada waktu aktif maupun dorman dengan menggunakan satu atau lebih
organisma yang dilakukan secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang
atau antagonis atau melalui penambahan satu atau lebih antagonis (Cook and
Baker, 1983).
Pengendalian penyakit hayati oleh mikroorganisme
baik jamur ataupun bakteri dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme
seperti: antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu
pertumbuhan tanaman (Cook dan Baker, 1974., Van Loon,2000., Kloeppet et al,1999.,Schippers
et al, 1987). Mekanisme antibiosis merupakan penghambatan patogen oleh
senyawa metabolik yang dihasilkan oleh agensia hayati seperti: enzim,
senyawa-senyawa volatile, zat pelisis dan senyawa antibiotik lainnya. Salah
satu contoh adalah agensia hayati kelompok jamur. Jamur diketahui mampu
menghasilkan bermacam senyawa beracun (toksis) untuk melawan organisma lainnya
(Burge, 1988). Dalam mengkolonisasi suatu substrat jamur mempunyai kemampuan
untuk menghasilkan sejumlah produk ektraselular yang bersifat racun. Kemampuan
jamur menghasilkan suatu antibiotik sangatlah penting dalam menentukan
kemampuannya untuk mengkolonisasi dan mengatur keberadaannya dalam suatu
substrat. Antibiotik dapat juga mengakibatkan terjadinya endolisis atau
autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel oleh enzim yang diikuti kematian
yang mungkin disebabkan kekurangan hara, antibiotik ataupun kerusakan dinding
sel. Dengan demikian berhasil tidaknya suatu organisma pengendali hayati
sebagai agensia hayati bergantung pada kemampuan antibiotik yang dihasilkannya
menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen tanaman (Baker dan Cook, 1982).
Penggunaan agensia pengendali hayati dalam
mengendalikan organisma pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara
ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan
tersebut adalah: (1) aman bagi manusia, musuh alami; (2) dapat mencegah
timbulnya ledakan OPT sekunder; (3) produk tanaman yang dihasilkan bebas dari
residu pesti sida; (4) terdapat di sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi
ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis; dan (5) menghemat biaya
produksi karena aplikasi cukup 1 atau 2 kali dalam satu musim panen.
Pengendalian penyakit secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman
yan tahan terhadap serangan patogen tertentu, atau dengan menggunakan
mikro-organisme lain yang bersifat antagonistik atau parasit terhadap patogen
tanaman. Penggunaan agensia hayati atau mikro-organisma antagonis dalam
pengendalian hayati di Indonesia khususnya, baru mendapat perhatian dalam
tahun-tahun terakhir ini. Beberapa agensia hayati yang telah diketahui dapat
digunakan dalam pengendalian penyakit secara hayati antara lain jamur dan
bakteri (Campbell, 1989).
Banyak jamur yang dapat bersaing secara antagonis.
Hal ini data mempengaruhi keseimbangan alami mikroflora dalam tanah, filosfer
ataupun rizosfer sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia hayati. Jamur
parasit fakultatif dengan bantuan enzim dan senyawa toksik yang dapat
dihasilkannya dapat merusak inangnya serta menyerap makanan dari sel-sel inang
yang telah mati. Sebaran inang jamur golongan ini sangat luas dan dapat diperbanyak
pada media buatan. Jamur mampu masuk melalui dinding hifa inang sehingga sangat
potensial untuk dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati. Beberapa
diantara nya adalah Trichoderma spp, yang data digunakan untuk menekan
jamur patogen seperti damping off . Jamur antagonis dengan modus aksi
mikoprasitisme berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai biofungisida karena
mampmengandalikan struktur istirahat patogen (Adams, 1990).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis
mutualistik antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 1996). Hampir pada semua
jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan dalam
tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada
jenis tanaman pertanian), ektomikoriza (pada jenis tanaman kehutanan), dan
ektendomikoriza (Harley and Smith, 1983) Peranan FMA dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil
penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha
produksi inokulan FMA yang diusahakan secara komersil. Jamur endomikoriza masuk
ke dalam sel korteks dari akar serabut (feeder roots). Jamur ini tidak
membentuk selubung yang padat, namun membentukmiselium yang tersusun longgar
pada permukaan akar. jamur juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di
dalam sel korteks, sehingga sering disebut dengan FMA (Vesicular-Arbuscular
Miccorhizal), sebagai contoh jenis Globus dan Acaulospora (Thorn 1997). Menurut
Bonfante dan Bianciotto (1995) , fase kontak dan prose infeksi FMA dengan akar
tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada keadaan tidak ada tanaman inang,
hifa yang terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presimbiotik) berhenti
tumbuh dan akhirnya mati. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan
kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak dimulai
dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman,
pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium. Apresorium
merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA . Hal ini diinterpretasikan
sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal
calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase
itu, jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa
interseluler dan intraseluler, vesikula, dan arbuskula. Aspek morfologi fase
itu secara luas dapat dilacak dengan amenggunakan kombinasi mikroskop sinar dan
elektron.
Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang
seperti pohon-pohon kecil yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom),
berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan jamur.
Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan penetrasi
cabang hifa lateral yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan intraseluler ke
dalam dinding sel inang. Arbuskula dengan cepat mengalami desintegrasi atau
terjadi lisis/pecah dan membebaskan P ke tanaman inang. Luas permukaan
arbuskula aktif secara metabolik per meter akar berkurang dengan waktu,
sedangkan hifa mempunyai area permukaan lebih besar sesudah 63 hari setelah
tanam (Smith, 1995). Arbuskula menyediakan area permukaan yang lebih luas untuk
pertukaran metabolik. Arbuskula merupakan struktur FMA yang bersifat labil di
dalam akar tanaman. Sifat kelabilan tersebut sangat tergantung pada metabolisme
tanaman, bahan makanan dan intensitas radiasi matahari (mosse, 1981; Brundrett,
2003). Pembentukan struktur tersebut dipengaruhi jenis tanaman, umur tanaman,
dan morfologi akar tanaman (Dickson dkk, 1999).
Vesikel merupakan
suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat, mengandung cairan lemak, yang
berfungsi sebagai organ penyimpanan makanan atau berkembang menjadi
klamidospora, yang berfungsi sebagai organ reproduksi dan struktur tahan.
Vesikel selain dibentuk secara interseluler ada juga yang secar intraseluler.
Pembentukan vesikel diawali dengan adanya perkembang sitoplasma hifa yang
menjadi lebih padat, multinukleat dan mengandung partikel lipid dan glikogen.
Sitoplasma menjadi semakin padat melalui proses kondensasi, dan organel semakin
sulit untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (proses
pendewasaan). Vesikel biasanya dibentuk lebih banyak di luar jaringan korteks
pada daerah infeksi yang sudah tua, dan terbentuk setelah pembentukan arbuskul.
Jika suplai metabolik dari tanaman inang berkurang, cadangan makanan itu akan
digunakan
oleh cendawan sehingga vesikua mengalami degenerasi. Pada ordo Glomales tidka
semua genus memiliki vesikula. Gigaspora dan Scutellospora adalah dua genus
yang tidak membentuk vesikula di dalam akar. Oleh karena itu, ada dua pendapat
yaitu ada yang menyebut cendawan mikoriza vesikulaarbuskula dan ada pla yang
menggunakan istilah FMA .Nama vesikula-arbuskula tampaknya berdasrkan
karakteristik struktur arbuskula yang terdapat di dalam sel-sel korteks dan
vesikula yang terdapat di dalam atau di antara sel-sel korteks akar tanaman
(Brundrett, 2003).
Hifa eksternal merupakan
struktur lain dari FMA yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi
menyerap hara dan air di dalam tanah. Adanya hifa eksternal yang berasosiasi
dengan tanaman akan berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar
sehingga memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih
jauh. (Mosse, 1981). Distribusi hifa eksternal ini sangat dipengaruhi oleh
lingkungan abiotik dan biotik seperti sifat kimia, fisika tanah, kandungan
bahan norganik , mikroflora dan mikrofauna (Sylvia, 1990).
Spora,
merupakan propagul yang bertahan hidup dibandingkan dengan hifa yang ada di
dalam akar tanah. Spora terdapat pada ujung hifa eksternal dan dapat hidup
selama berbulan-bulan, bahakan bertahun-tahun. Perkecambahan spora bergantung
pada lingkunganseperti pH, temperatur, dan kelembaban tanah serta kadar bahan
organik (Fakuara, Y. 1988). FMA mempunyai peran biologis yang cukup penting
khususnya bagi tanaman yaitu (1) meningkatkan penyerapan hara, (2) sebagai
elindung hayati (bioprotektor), (3) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan, dan (4) berperan sinergis dengan mikroorganisme lain.
FMA mampu memperbaiki penyerapan hara dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Cendawan itu menginfeksi akar tanaman
kemudian memperoduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang
bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara.
Unsur hara yang diserap tanaman yang terinfeksi FMA terutama P, karena P
diperlukan tanaman dalam ujmlah relatif banyak, tetapi ketersediaannya treutama
pada tanah-tanah masam menjadi terbatas sehingga seringkali menjadi salah satu
faktor pembatas dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Selain unsur P unsurr
mikro seperti Cu, Zn, dan B dapat ditingkatkan penyerapannya pada tanaman yang
berasosiasi dengan mikoriza (Marschner, 1992 ; David dan Nilsen, 2000). Selain
itu juga Quimet dkk (1996) mengungkapkan bahwa kar yang terinfeksi mikoriza
mampu menigkatkan penyerapan NH4 + dan NO3
serta Mg. Ruiz – Lozano , dkk (1995) menyatakan bahwa FMA dapat
menigkatkan ketahanan tanaman pada kondisi kekurangan air melalui peningkatakn
penyerapan hara, transpirasi daun dan efisiensi penggunaan air sehingag terjadi
penurunan nisbah akar terhadap pupus. Keadaan itu menunjukkan bahwa
fotosintesis tanaman menigkta dan fotosintat lebih banayk digunakan untuk
pertumbuhan pupus. Kemampuan FMA tersebut dapat diajdikan alat biologis untuk
mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.
FMA mamapu
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah dan juga
dapat membantu pertumbuhana tanaman pada tanah yang tercemar logam berat
seperti lahan bekas tamabang (bioremidiator) (Linderman, 1996; Setiadi,
2000). Tanaman yang berasosiasi dengan FMA akan mengalami perubahan dalam
morfologi dan fisiologi untuk menahan serangan patogen akar. Menigkatnya
ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar disebabkan oleh
kemampuan FMA memproduksi antibiotika guna menghadang patogen tanah (Quimet
dkk, 1996). Lignifikasi dinding sel tanaman inang akan menghambat serangan
patogen akar dan perubahan secara fisiologis pada tanaman yang bermikoriza
meningkatkan konsentrasi P dan K serta hara lain sehingga akan menurunkan
kepekaan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Pada tanaman yang
bermikoriza, mengandung isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tanahn
terhadap serangan karena senywa tersebut dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen tanah.
Kontrol biologis terhadap penyakit tanaman mungkin
sangat dipengaruhi oleh FMA melalui satu atau lebih mekanisme antara lain : (a)
meningkatkan hara tanaman, (b) kompetisi pada fotosintat inang dan daerah infeksi,
(c) perubahan morfologi pada akar dan jaringan akar, (d) perubahan pada unsur
kimia dan jaringan tanaman, (e) pengurangan stress abaiotik, dan (f) perubahan
mikroorganisme pada rizosfer. Menurut Miller dan Jastrow (1996) kontribusi FMA
tanaman disamping perannya dalam pelapukan hara tanah juga berperan dalam sklus
biokimia melalui pertukaran rasio konsentrasi unsur hara antara tanah, FMA ,
dengan tanaman. FMA juga bertindak menurunkan mobilitas hara melalui suplai
hara lebih besar kepada tanaman inang. Di samping itu, FMA menjaga stabilitas
agregasi tanah pada penambahan bahan organik yang cukup tinggi.
Peran FMA sebetulnya secara tidak langsung
meningkatkan ketahanan terhadap kadar air yang ekstrim. Cendawan mikoriza dapat
mempengaruhi kadar air tanaman inang (Morte dkk., 2000). Ada beberapa dugaan
tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan, antara lain :
1.
Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun
sehingga transpor air ke akar meningkat.
2.
Peningkatan status P tanaman sehingga daya tahan tanaman terhadap kekeringan
meningkat. Tanaman yang mengalami kahat P cenderung peka terhadap kekeringan.
3.
Pertumbuhan yang lebih baik serta ditunjang adanya hifa eksternal cendawan yang
dapat menjangkau air jauh ke dalam tanah sehingga tanaman dapat bertahan pada
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan .
4.
Pengaruh tidak langsung karena adanya hifa eksternal yang menyebabkan FMA
efektif dalam mengagregasi butir tanah sehingga kemmpuan tanah menyimpan air
meningkat.
Penghalang mekanis yang dibentuk oleh selubung
cendawan Marx dan Davey (1969), menyimpulkan bahwa selubung dari ektomikoriza
adalah penghalang fisik terhadap penembusan P. cinnamomi, karena pada
pengamatan histologis dari berbagai ektomikoriza pada Pinus yang dibentuk
berbagai simbion jamur yang telah diinokulasi dengan zoospora atau miselium,
ektomikoriza yang telah masak dan mempunyai selubung yang lengkap tidak
terserang oleh P. cinnamomi, sedang yang tidak bermikoriza terserang 100%.
Hanya sedikit eksudat akar yang dapat melalui jaring Hartig dan selubung jamur
ektomikoriza, tanpa diserap dan dipergunakan olehnya. Marx dan Davey (1969),
menjelaskankan bahwa zoospora dari P. cinnamomi tidak engan kuat tertarik, baik
pada akar tidak bermikoriza maupun yang bermikoriza. Setelah zoospora menjadi
sista pada permukaan akar, dibandingkan dengan pada bagian lain dari akar, akan
lebih cepat serta kuat berkecambah pada ujung dan bagian sel memanjang pada
akar bermikoriza. Di lain pihak pada ektomikoriza, zoospora berkecambah dengan
lambat serta tabung kecambah yang dihasilkannya tumbuh dengan lambat dan
merana, dibandingkan dengan zoospora pada bagian akar yang dinding selnya
mengandung suberin. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa
ektomikoriza secara kimia tidak tertalu memacu Perkecambahan zoospora dan
pertumbuhan tabung kecambah, seperti yang terjadi pada akar yang tidak
bermikoriza yang mengandung suberin.
Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza
dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis
mutualistis). Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai
'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan
maupun tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi
ini, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza
berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses
pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat
meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan
unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat
membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu :
1.
Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2.
Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen
akar.
3.
Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4.
Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya
seperti auxin.
5.
Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.
Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk
asosiasi antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan
adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan
dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Fungi mikoriza
termasuk golongan endomikoriza. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang
intraseluler yaitu hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel kesel yang
lain (Manan, 1993). Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur
hifa yang bercabang-cabang yang disebut
arbuskula. Pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang berbentuk oval disebut
vesikula. Arbuskula merupakan tempat pertukaran metabolit antara jamur dan
tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah
terjadi infeksi pada akar tanaman (Delvian, 2003), sedangkan vesikula merupakan
organ penyimpan makanan dan berfungsi sebagai propagul (organ reproduktif).
Ciri utama arbuskula mikoriza adalah terdapatnya
arbuskula di dalam korteks akar. Awalnya fungi tumbuh di antara sel-sel
korteks, kemudian menembus dinding sel inang dan berkembang di dalam sel
(Brundrett et al.,1996). Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi
akar, mikoriza dapat dikelompokan menjadi Ektomikoriza (jamur yang menginfeksi tidak masuk ke
dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan
korteks, akar yang terinfeksi membesar dan bercabang), Endomikoriza (Jamur yang
menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel korteks dan akar yang terinfeksi tidak
membesar).
Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan
menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen
akar akan terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan
karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak
cocok bagi pertumbuhan patogen. Dipihak lain, jamur mikoriza ada yang dapat
melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen. Mikoriza dapat mengurangi
perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cinamomi dan
dapat juga menekan serangan nematoda bengkak akar (Max, 1982).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik
antara jenis jamur tertentu dengan perakaran tanaman (Brundrett 1996).
Simbiosis ini terdapat hampir pada semua jenis tanam. Kabirun (1994)
mengelompokkan jamur mikoriza ini dalam dua jenis, yaitu endomikoriza dan
ektonikoriza. Namun pada umumnya mikoriza lebih banyak dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu dengan adanya penambahan kelompok mikoriza yang merupakan bentuk
peralihan dari kedua jenis tadi, yaitu ektendomikoriza (Harley and Smith 1983)
Jamur ektomikoriza memasuki akar dan mengganggu sebagian lamela tengah di
antara sel korteks. Susunan hifa di sekeliling sel korteks ini disebut jaring
Hartig. Ektomikoriza biasanya juga menyusun jaringan hifa dengan sangat rapat pada
permukaan akar yang disebut selubung. Selubung ini sering disebut dengan selubung
Pseudoparenkim (Kabirun 1994). Kebanyakan jamur yang membentuk mikoriza adalah
Basidiomycetes (famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae,
Tricholomataceae, Rhizopogonaceae, dan Sclerodermataceae). Beberapa ordo dari
Ascomycetes, terutama Eurotiales, Tuberales, Pezizales, dan Helotiales,
mempunyai spesies yang diduga membentuk ektomikoriza dengan pohon.
Jamur Trichoderma sp. merupakan salah satu
agen antagonis yang bersifat saprofit dan bersifat parasit terhadap jamur lain.
Jamur ini termasuk Eukariota, Divisi : Deuteromycota Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Trichoderma Pada umumnya jamur Trichoderma
sp. hidup ditanah yang lembab, asam dan peka terhadap cahaya secara
langsung. Pertumbuhan Trichoderma sp. yang optimum membutuhkan media
dengan pH 4-5. Kemampuan jamur ini dalam menekan jamur patogen lebih berhasil
pada tanah masam daripada tanah alkalis. Kelembaban yang dibutuhkan berkisar
antara 80-90%.(Marianah, 2013)
Jamur Trichoderma sp mempunyai morfologi
seperti konidiofora hylin (bening), tegak lurus, bercabang, bersepta, phialida
tunggal atau kelompok, konidia hylin, oval, satu sel, biasanya mudah dikenali
dengan pertumbuhan yang cepat dan bantalan konidia yang hijau (Supiandi, 1999).
Koloni Trichoderma sp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna
putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat
sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi miselium yang
masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau
(Umrah, 1995 dalam Nurhayati, 2001). Koloni pada medium PDA (20°C)
mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam waktu 9 hari, semula berwarna hialin,
kemudian menjadi putih kehijauan dan selanjutnya hijau redup terutama pada
bagian yang menunjukkan banyak terdapat konidia. Konidifor dapat bercabang
menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang,
sedangkan kearah ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak
langsing dan panjang terutama apeks dari cabang, dan berukuran (2,8-3,2) μm x
(2,5-2,8) μm, dan berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam
miselia dari koloni yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal,
umumnya bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus (Tindaon, 2008).
Trichoderma sp.
adalah jenis cendawan yang tersebar luas di tanah, dan mempunyai sifat mikoparasitik.
Mikoparasitik adalah kemampuan untuk menjadi parasit cendawan lain. Sifat
inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis-jenis cendawan
fitopatogen. Beberapa cendawan fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh
Trichoderma spp. Antara lain : Rhizoctonia solani, Fusarium spp, Lentinus
lepidus, Phytium spp, Botrytis cinerea, Gloeosporium
gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii yang
menyerang tanaman jagung, kedelai, kentang, tomat, dan kacang buncis, kubis,
cucumber, kapas, kacang tanah, pohon buah- buahan, semak dan tanaman hias
(Tindaon, 2008).
Menurut Suwahyono dan Wahyudi (2004), mekanisme
pengendalian jamur pathogen oleh Trichoderma harzianum secara alamiah
dapat dikelompokan menjadi tiga fenomena dasar yang bekerja simultan yaitu :
1.
Antibiosis, ternyata agensia aktif sebagai fungisida selain menghasilkan enzim
dinding sel jamur juga menghasilkan senyawa antibiotic yang termasuk
kelompok
furanon yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur
pathogen.
2.
Untuk pembenihan sebagai dressing dicampur bersama pupuk cair atau dapat
dicampur bersama pupuk atau herbisida melalui permukaan saluran irigasi atau
ditanaman dalam bentuk kering ke tanah.
3.
Pemberian
Trichoderma harzianum mampu meningkatkan jumlah akar dan daun menjadi
lebar.
Manfaat Jamur Trichoderma sp yaitu sebagai organisme
pengurai dan membantu proses decomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan
kompos; sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di
dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Mengingat peran Trichoderma
harzianum yang sangat besar dalam menjaga kesuburan tanah dan menekan
populasi jamur patogen, sehingga T. Harzianum memiliki potensi sebagai
kompos aktif juga sebagai agen pengendali organisme patogen. Menurut Suwahyono
(2004) bahwa T. harzianum mengeluarkan zat aktif semacam hormone auksin
yang merangsang pembentukan akar lateral. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik diperngaruhi
oleh pertumbuhan akar, dengan pemberian kompos aktif maka pertumbuhan akar
menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang
berakibat juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik.
Trichoderma merupakan
jamur tanah yang berperan dalam menguraikan bahan organik tanah, dimana bahan
organik tanah ini mengandung beberapa komponen zat seperti N, P, S dan Mg dan
unsur hara lain yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. Trichoderma dapat
menguraikan posfat dari Al, Fe dan Mn. Pada pH rendah ion P akan mudah
bersenyawa dengan Al, Fe dan Mn, sehingga tanaman sering mengalami keracunan Al
dan Fe. Keracunan Al akan menghambat pemanjangan dan pertumbuhan akar primer
serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. T. harzianum adalah
jamur non mikoriza yang dapat menghasilkan enzim ketinase, sehingga dapat
berfungsi sebagai pengendali penyakit tanaman. Ketinase merupakan enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri serta berperan penting
dalam pemecahan kitin (Wijaya, 2002).
PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) sebagai alternatif
teknologi ramah lingkungan di lapangan, hal ini dilihat dari banyaknya petani
dalam mengamankan produksi pertanian akibat serangan OPT menggunakan pestisida
secara berlebihan, sehingga menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan,
seperti terjadinya ledakan hama, timbulnya hama sekunder, matinya musuh alami,
rusaknya lingkungan, bahkan penolakan pasar akibat produk mengandung
residu pestisida (Gandanegara, 2007).
PGPR adalah sejenis bakteri yang menguntungkan yang hidup di sekitar
perakaran tanaman dimana bakteri ini memberi keuntungan dalam proses fisiologi
tanaman dan pertumbuhannya. Jika di daerah perakaran suatu tanaman kekurangan
mikroorganisme menguntungkan maka akan menyebabkan tanaman menjadi terserang
berbagai macam penyakit akar seperti layu dan busuk akar. Selain itu tanaman
juga akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya (kurang subur). PGPR
ini pertama kali diteliti oleh Kloepper dan Schroth tahun 1978, dimana mereka
menemukan bahwa keberadaan bakteri yang hidup di sekitar akar ini mampu memacu
pertumbuhan tanaman jika diaplikasikan pada bibit/benih. Tidak hanya itu,
tanaman nantinya akan beradaptasi terhadap hama dan penyakit.
Mekanisme PGPR dalam meningkatkan kesuburan tanaman dapat terjadi
melalui 3 cara (Amalia, 2007), yaitu:
1. Menekan
perkembangan hama/penyakit (bioprotectant): mempunyai pengaruh langsung
pada tanaman dalam menghadapi hama dan penyakit;
2. Memproduksi
fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid);
Sitokinin; Giberellin; dan penghambat produksi etilen: dapat menambah luas
permukaan akar-akar halus;
3. Meningkatkan
ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) .Bila penyerapan unsur
hara dan air yang lebih baik dan nutrisi tercukupi, maka menyebabkan kebugaran
tanaman juga semakin baik, sehingga akan semakin meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap tekanan-tekanan, baik tekanan biologis (OPT) maupun non biologis
(Iklim).
Aplikasi PGPR dapat dilakukan melalui pelapisan benih dan perendaman benih
dalam suspensi. Bakteri PGPR merupakan bakteri tanah yang masa hidupnya tidak
panjang karena itu perlu mengembalikan populasinya setiap akan menebar benih.
Menurut Bowen and Rovira (1999), media perkecambahan yang digunakan harus
memiliki kemampuan untuk menahan air, bersih dan bebas dari benih lain,
cendawan, bakteri atau zat beracun yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih
dan pertumbuhan kecambah, untuk media tanah dan pasir harus dalam keadaan yang
cukup seragam dan sebelum digunakan perlu dicuci dan disterilisasi.
Bibit akan tumbuh dengan baik di lapang jika kecambah tumbuh dengan baik
pada fase perkecambahan. Penggunaan media perkecambahan yang tepat akan
memudahkan kecambah untuk menembus permukaan media. Pada pengujian daya
berkecambah benih maka akan dihitung persentase daya berkecambahnya (Raybum,
1993).
Inokulan PGPR dinamakan Azora, yang merupakan hasil pengembangan formulasi
yang ditujukan untuk mengurangi kebutuhan pupuk N, P dan K. Azora ini mengandung isolat bakteri penghasil hormon tumbuhan,
pemfiksasi N2, dan pelarut fosfat (Gandanegara, 2007).
Sebagaimana
pemahaman mengenai kompleksnya lingkungan rizosfer, mekanisme aksi PGPR, dan
aspek praktek dari formulasi inokulan, kita dapat menduga untuk mengetahui
produk PGPR baru menjadi tersedia. Sukses dari produk ini akan bergantung pada
kemampuan untuk mengelola rizosfer untuk meningkatkan ketahanan dan data
kompetisi dari mikroorganisme bermanfaat ini (Bowen and Rovira, 1999).
Bakteri pemacu tumbuh secara tidak langsung juga menghambat patogen melalui
sintesis senyawa antibiotik, sebagai kontrol biologis. Beberapa jenis endofitik
bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inangnya dalam meningkatkan
ketahanannya terhadap serangga hama melalui produksi toksin, di samping senyawa
anti mikroba seperti fungi Pestalotiopsis microspora, danTaxus walkchiana yang
memproduksi taxol (zat antikanker) (Raybum, 1993) melaporkan bawa endofitik
Neotyphodium sp. Menghasilkan N-formilonine dan a paxiline (senyawa
antiserangga hama).
PGPR ini pertama kali diteliti oleh Kloepper dan Schroth tahun 1978. Mereka
menemukan bahwa keberadaan bakteri yang hidup di sekitar akar ini mampu memacu
pertumbuhan tanaman jika diaplikasikan pada bibit/benih. Tidak hanya itu,
tanaman nantinya akan beradaptasi terhadap hama dan penyakit. Rizobakteri yang
bermanfaat dinamakan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR). Oleh karena
itu, PGPR dapat dipertimbangkan secara fungsional sebagai bakteri bermanfaat
yang mengkolonisasi akar (Desmawati, 2008).
Efek PGPR pada tanaman yang diiinokulasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
mendukung pertumbuhan tanaman dan pengendali secara biologis (biokontrol).
Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam prakteknya
sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan perbedaan dan batas
antara keduanya. Strain PGPR Pseudomonas fluoresens dipilih untuk meningkatkan
pertumbuhan dan hasil dari tanaman kentang, tetapi gagal mempengaruhi
pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan dalam kondisi gnotobiotic. Dan growth
promotion yang terjadi pada kondisi tanah lapang berkaitan dengan reduksi
populasi rizoplan asli, yaitu fungi dan bakteri (Gandanegara, 2007).
Biokontrol
pada beberapa kasus diperkirakan muncul akibat dari penyakit yang terbebaskan.
Akar menunjukkan pemanjangan atau percabangan yang berlebih akibat perlakuan
PGPR, dapat meloloskan infeksi dari fungi patogen asal tanah yang lebih mudah
menginfeksi benih muda. Selain itu infeksi patogen yang terlokalisir dalam 1
area sistem perakaran mungkin diseimbangkan oleh suatu peningkatan global dalam
biomassa akar sebagai kompensasi (Amalia, 2007).
Biokontrol terhadap fitopatogen tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Penekanan fitopatogen merupakan hasil
dari produksi metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya
sebagai sistem pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing
dengan mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran
tanaman untuk melindunginya (Amalia, 2007).
Berikut
kelebihan dari PGPR (Desmawati, 2008), diantaranya :
1. Menambah fiksasi nitrogen di tanaman kacang – kacangan
2. Memacu pertumbuhan bakteri fiksasi nitrogen bebas
3.Meningkatkan ketersediaan nutrisi lain seperti phospat, belerang, besi dan
tembaga
4. Memproduksi hormon tanaman
5. Menambah bakteri dan cendawan yang menguntungkan
6. Mengontrol hama dan penyakit tumbuhan
Ada beberapa kekurangan dalam produksi PGPR ini (Desmawati,
2008), diantaranya :
1.
Kekonsistenan
pengaruh bakteri PGPR di laboratorium dengan di lapangan kadang – kadang
berbeda.
2.
Bakteri ini
harus dapat diperbanyak dan diproduksi dalam bentuk yang optimum baik
vialibilas maupun biologinya selama diaplikasikan di lapangan. Beberapa bakteri
PGPR harus dilakukan re-inokulasi setelah diaplikasikan di lapangan
seperti Rhizobia.
3.
Tantangan
lainnya berkaitan dengan regulasi / kebijakan suatu negara. Di beberapa negara
kontrol terhadap produksi agens antagonis ini sangat ketat. Walaupun produk
tersebut tidak berefek negatif pada manusia.
Tanaman inang bagi bakteri PGPR memiliki kisaran yang cukup luas, di
antaranya adalah: barley, kedelai, kanola, kapas, jagung,
kacang-kacangan, padi, dan tanaman sayuran.
III. Metodologi
Praktikum Ilmu Penyakit Tanaman, mengenai kunjungan di laboratorium hama dan penyakit
tanaman kedu dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Kedu, Temanggung.
Dilaksanakan pada hari Jum’at, 4
September 2016, Pukul 07.00 sampai selesai. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Ember beserta tutupnya, panic, kompor, dan pengaduk, Gula Jawa/Gula Merah sudah dicairkan (1 botol kecil aqua), air 10 liter
yang sudah dimasak, sabun colek, dedak dan akar rumput gajah, bambu dan
putri malu, jamur mikoriza, trichoderma sp, PGPR.
Cara Kerja pada
praktikum pembuatan PGPR ini adalah menyiapkan ember ukuran 20 liter kemudian masukkan air
yang yang sudah dididihkan kedalam ember dan masukkan dedak ke dalam ember yang sudah berisi
air dan aduk hingga merata dan akar yang sudah di cuci bersih kedalam ember
yang berisi air panas.Aduklah naik
turun akar agar cepat melunak. Tuangkan Molases kedalam ember dan diaduk hingga
air dan molases merata. Fermentasikan selama 2 minggu. PGPR siap di
saring dan digunakan. Cara kerja perbanyakan Trichoderma sp dengan perbanyakan isolat
murni dilakukan dengan menggunakan media beras steril dan diinkubasi. Trichoderma spp dapat dengan mudah diisolasi
menggunakan medium Agar Kentang Dextrose (AKD) ditambah dengan Klorampenikol
0,25 gr/ltr medium. Pengujian sifat antagonisme dari
beberapa jenis Trichoderma spp yang diperoleh, dilakukan penanaman berpasangan
dengan jamur patogen pada media AKD.
Kriteria untuk menentukan sifat antagonis terhadap jamur patogen adalah
terjadinya zone penghambatan pertumbuhan jamur patogen; Pada jarak tertentu
antara Trichoderma spp dengan jamur patogen, bila diamati lebih teliti ternyata
ujung-ujung hifa koloni patogen mengalami keabnormalan. Sedangkan Trichoderma
spp yang diuji terus tumbuh bahkan menutupi koloni patogen; Hifa jamur patogen
mengalami lisis/kosong;Terjadi proses mikoparasit. Cara kerja mikoriza dengan Metoda atau cara produksi
inokulum mikoriza dan aplikasi secara langsung di lahan atau on farm production adalah sebagai berikut : 1. Persiapan
Lahan Diperlukan bedengan berukuran 25 m 2 untuk menghasilkan 4 000 kg inokulum
berupa campuran tanah spora dan akar terinfeksi Sebaiknya dipilih lahan yang
kurang subur yang dekat dengan areal penanaman penanaman. 2. Sterilisasi Lahan
dilakukan pada lahan di atas disebarkan 50--60 g dazomet granular per m2,
diaduk merata lalu disiram air untuk melarutkan butiran dazomet dan ditutup
plastik . Perlakukan berikutnya adalah pencangkulan selain untuk meratakan
hasil, juga untuk menguapkan sisa fumigasi.Lima hari kemudian bedeng tersebut
dapat digunakan. 3. Inokulasi dilakukan pada tiap lubang yang dibuatdiberikan
starter inokulumdari jenis cendawan mikoriza yang akan dikembang biakkan
Tanaman inang dapat berupa jagung sorgum atau puerariaUntuk menjamin terjadinya
infeksi pada media pengecambahan dapat diberi inokulum sebagai perlakuan pra
inokulasi sebelum ditanam di bedeng perbanyakan. 4. Multiplikasi Perawatan
tanaman perlu dilakukan selama pertumbuhan tanaman di lahan atau bedeng
pembiakan pembiakan. (betina) tersebut.
Setelah tanaman inang keluar bunga jantan atau betina sebaiknya digunting agar
tanaman dapat merangsang terbentuknya spora cendawan mikoriza di lahan
tersebut. 5. Panen inokulum setelah tanaman mengering, inokulum. 20-tanaman.
diberikan.tanah bedeng tersebut sudah dapat digunakan sebagai inokulum.
Pengambilan tanah sebagai inokulum dilakukan hingga kedalaman sebatas lapisan
olah yang telah dilakukan sebelumnya (20 30 cm). 6. Pemakaian hasil Hasil panen
dapat langsung diaplikasikan pada tanaman ubi kayu dengan dosis 200 g per
tanaman Stek ubi kayu ditanamkan pada lubang tersebut tepat diatas permukaan
inokulum yang diberikan 5. Panen Inokulum Setelah tanaman inang mengering
anyakan.
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan
Pengendalian penyakit tanaman secara hayati adalah
setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau
pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan oganisma
lain selain manusia.
Pengendalian
hayati ini dapat meliputi: 1). pergiliran tanaman dan beberapa system
pengelolaan tanah, pemupukan, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi mikroba
tanah, 2). Menempatkan atau menambahkan langsung mikroba antagonistik pada
patogen atau yang sesuai dengan tanamannya, 3). Penggunaan bahan kimia untuk
merubah mikroflora serta 4). Pemuliaan tanaman yang diketahui dapat merubah
genom tanaman yang dapat mempengaruhi mikloflora baik pada pilosfere maupun
rizosfere.
Pengendalian penyakit hayati oleh mikroorganisme
baik jamur ataupun bakteri dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme
seperti: antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu
pertumbuhan tanaman. Mekanisme antibiosis merupakan penghambatan patogen oleh
senyawa metabolik yang dihasilkan oleh agensia hayati seperti: enzim,
senyawa-senyawa volatile, zat pelisis dan senyawa antibiotik lainnya. Salah
satu contoh adalah agensia hayati kelompok jamur. Jamur diketahui mampu
menghasilkan bermacam senyawa beracun (toksis) untuk melawan organisma lainnya.
Dalam mengkolonisasi suatu substrat jamur mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan sejumlah produk ektraselular yang bersifat racun. Kemampuan jamur
menghasilkan suatu antibiotik sangatlah penting dalam menentukan kemampuannya
untuk mengkolonisasi dan mengatur keberadaannya dalam suatu substrat.
Antibiotik dapat juga mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu
pecahnya sitoplasma suatu sel oleh enzim yang diikuti kematian yang mungkin
disebabkan kekurangan hara, antibiotik ataupun kerusakan dinding sel. Dengan
demikian berhasil tidaknya suatu organisma pengendali hayati sebagai agensia
hayati bergantung pada kemampuan antibiotik yang dihasilkannya menekan
pertumbuhan dan perkembangan patogen tanaman.
Penggunaan
agensia pengendali hayati dalam mengendalikan organisma pengganggu tanaman
(OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian
berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah:
1.
Aman bagi manusia, musuh alami.
2.
Dapat mencegah timbulnya ledakan OPT
sekunder.
3.
Produk tanaman yang dihasilkan bebas dari
residu pestisida
4.
Terdapat di sekitar pertanaman sehingga
dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis.
5.
Menghemat biaya produksi karena aplikasi
cukup 1 atau 2 kali dalam satu musim panen.
Pengendalian penyakit
secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman yan tahan terhadap
serangan patogen tertentu, atau dengan menggunakan mikro-organisme lain yang
bersifat antagonistik atau parasit terhadap patogen tanaman. Penggunaan agensia
hayati atau mikro-organisma antagonis dalam pengendalian hayati di Indonesia
khususnya, baru mendapat perhatian dalam tahun-tahun terakhir ini. Beberapa
agensia hayati yang telah diketahui dapat digunakan dalam pengendalian penyakit
secara hayati antara lain jamur dan bakteri.
Pengendalian penyakit
secara hayati dilakukan dengan menggunakan jamur mikoriza, trichoderma sp, dan
PGPR. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan
akar tanaman. Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini.
Umumya mikoriza dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau FMA
(Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman pertanian), ektomikoriza (pada
jenis tanaman kehutanan), dan ektendomikoriza. Peranan FMA dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil
penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha
produksi inokulan FMA yang diusahakan secara komersil. Jamur endomikoriza masuk
ke dalam sel korteks dari akar serabut (feeder roots). Jamur ini tidak
membentuk selubung yang padat, namun membentuk miselium yang tersusun longgar
pada permukaan akar. jamur juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di
dalam sel korteks, sehingga sering disebut dengan FMA (Vesicular-Arbuscular
Miccorhizal), sebagai contoh jenis Globus dan Acaulospora. Fase kontak dan
prose infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada
keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora sebelum
simbiosis (presimbiotik) berhenti tumbuh dan akhirnya mati. Adanya akar
tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang dan mulai
proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan kejadian seperti pertentangan
pertumbuhan jamur dengan akar tanaman, pola percabangan akar baru, dan pada
akhirnya terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam
siklus hidup FMA . Hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi
pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal calon tanaman inang. Fase
kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu, jamur menyempurnakan
proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa interseluler dan
intraseluler, vesikula, dan arbuskula. Aspek morfologi fase itu secara luas
dapat dilacak dengan amenggunakan kombinasi mikroskop sinar dan elektron.
Mikoriza dapat membantu perkembangan tanaman ini
karena dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan sebagai
penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, Meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, Meningkatkan produksi
hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. Menjamin
terselenggaranya proses biogeokemis.
Perbaikan
Struktur Tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa
eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi
senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa
eksternal yang mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic
binding agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro.
Kemudian agregat mikro melalui proses "mechanical binding action"
oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan
Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa FMA mengasilkan senyawa glycoprotein
glomalin yang sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat.
Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah
dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa
eksternal bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan
tanah menyebabkan rusaknya jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan
sangat sedikit.
Serapan Air
dan Hara. Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas
bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari
bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling
kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang
sangat rendah. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga
membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K
dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin
meningkat.
Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga
disebabkan karena hifa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase yang mampu
melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman.
Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat
atau bakteri pengikat N.
Proteksi Dari
Patogen dan Unsur Toksik. Mikoriza
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari
patogen akar dan unsur toksik. Struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai
pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat
diterangkan sebagai berikut :
1.
Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
2.
Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya,
sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
3.
Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen.
4.
Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh
cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses
unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat. Mekanisme perlindungan
terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui
efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam
hifa cendawan. FMA dapat terjadi secara alami pada tanaman pioneer di lahan
buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi
lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha
penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.
Mekanisme
kerja jamur Trichoderma sp. sebagai agen pengendalian hayati adalah
antagonis terhadap jamur lain. Penekanan patogen berlangsung dengan proses
antibiosis parasitisme, kompetisi O2 dan ruang yang dapat mematikan patogen
tersebut. Jamur Trichoderma sp. memiliki banyak manfaat diantaranya
adalah sebagai berikut sebagai organisme pengurai, membantu proses dekomposer
dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos. Pengomposan secara alami akan memakan
waktu 2-3 bulan akan tetapi jika menggunakan jamur sebagai dekomposer memakan
waktu 14- 21 hari. Selain itu jamur Trichoderma sp. sebagai agensia
hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator
pertumbuhan tanaman. Biakan jamur trichoderma dalam media aplikatif dedak
bertindak sebagai biodekomposer yaitu mendekomposisi limbah organik menjadi
kompos yang bermutu, serta dapat juga berlaku sebagai biofungisida yaitu
menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman.
Manfaat Jamur Trichoderma
sp yaitu sebagai organisme pengurai dan membantu proses decomposer dalam
pembuatan pupuk bokashi dan kompos, sebagai agensia hayati, sebagai aktifator
bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Trichoderma sp berperan dalam menjaga
kesuburan tanah dan menekan populasi
jamur patogen sehingga memiliki potensi sebagai kompos aktif juga sebagai agen pengendali
organisme. Trichoderma sp mengeluarkan
zat aktif semacam hormone auksin yang merangsang pembentukan akar lateral. Pertumbuhan
dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara
yang baik diperngaruhi oleh pertumbuhan akar, dengan pemberian kompos aktif
maka pertumbuhan akar menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan
air berjalan baik yang berakibat juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman akan lebih baik.
Trichoderma merupakan
jamur tanah yang berperan dalam menguraikan bahan organik tanah, dimana bahan
organik tanah ini mengandung beberapa komponen zat seperti N, P, S dan Mg dan
unsur hara lain yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. Trichoderma dapat
menguraikan posfat dari Al, Fe dan Mn. Pada pH rendah ion P akan mudah
bersenyawa dengan Al, Fe dan Mn, sehingga tanaman sering mengalami keracunan Al
dan Fe. Keracunan Al akan menghambat pemanjangan dan pertumbuhan akar primer
serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. Trichoderma adalah
jamur non mikoriza yang dapat menghasilkan enzim ketinase, sehingga dapat
berfungsi sebagai pengendali penyakit tanaman. Ketinase merupakan enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri serta berperan penting
dalam pemecahan kitin.
Pembuatan PGPR dengan akar rumput gajah, akar
bambu, akar putri malu merupakan
salah satu dari akar-akar tanaman yang lainnya seperti halnya akar jagung yang
tahan terhadap hama dan penyakit. Pada akar rumput gajah ini justru terdapat
miktoba yang dapat mendukung perkembangan dan perkembanagannya,
karena mikroba yang terdapat didalamnya meriupakan mikroba baik dan
dapat member manfaat yang banyak pada tanaman itu sendiri terutama nutrisi yang
dibutuhkan oleh tanaman tersebut serta tidak berbahaya bagi manusia. mekanisme
PGPR dalam meningkatkan kesuburan tanaman dapat terjadi melalui 3 cara,
yaitu:
1. Menekan
perkembangan hama/penyakit (bioprotectant): mempunyai pengaruh langsung
pada tanaman dalam menghadapi hama dan penyakit;
2. Memproduksi
fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid);
Sitokinin; Giberellin; dan penghambat produksi etilen: dapat menambah luas permukaan
akar-akar halus;
3. Meningkatkan
ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) .Bila penyerapan unsur
hara dan air yang lebih baik dan nutrisi tercukupi, maka menyebabkan kebugaran
tanaman juga semakin baik, sehingga akan semakin meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap tekanan-tekanan, baik tekanan biologis (OPT) maupun non biologis
(Iklim).
Mikroba yang digunakan juga ini secara biologis tersedia dialam, tetapi
hanya saj terdapat beberapa hambatan untuk penggunaan mikroba ini sendiri,
seperti halnya mikroba ini di anggap berbahayakan bagi manusia disekitarnya. Berkaitan dengan regulasi / kebijakan suatu negara. Di beberapa negara
kontrol terhadap produksi agens antagonis ini sangat ketat. Walaupun produk
tersebut tidak berefek negatif pada manusia.
Akar-
akar tanaman direndam menggunakan air kemudian diseker. Setelah diseker air yang digunakan dalam proses pembuatan PGPR fungsinya ialah sebagai
pelarut yakni melarutkan dan diendapkan selama dua malam dan sudah terbentuk
bakteri pada tempat tersebut.Penambahan
gula merah pada praktikum ini berfungsi sebagai makanan mikroba pengurai agar
mikroba dapat berfungsi dengan baik dalam pembuatan PGPR. Dalam
pembuatan PGPR juga harus ditutup dan diberi sabun colek agar tidak ada
mikroorganisme pengganggu yang bisa masuk yang dapat mengganggu proses
penguraian atau proses pembuatan pestisida serta memberikan isolasi atau lakban
agar tidak dapat masuk.
Mekanisme
PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan ketahanan tanaman terjadi
antara lain melalui : kemampuan meproduksi ZPT (zat pengatur tumbuh ),
pelarutan fosfat yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat, dan
kemampuan produksi antibiotik, memproduksi siderofor yang berperan dalaminduksi
resistensi atau peningkatan ketahanan tanaman terhadao OPT. Serta peningkatan
produksi senyawa pertanaman tanaman seperti fitoaleksin. Penyerapan unsur hara
dan air yang lebih baik dan nutrisis yang tercukupi, kebugaran tanaman akan
semakin baik, sehimgga semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap gangguan
biotik (hama dan penyakit) maupun abiotik (kekeringan, kebanjiran).
PGPR memacu
pertumbuhan tanaman dengan peranan yang penting, perlindungan hasil panen dan
kesuburan lahan. PGPR dapat merangsang pertumbuhan tanaman baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung, PGPR merangsang pertumbuhan tanaman
dengan menghasilkan hormon pertumbuhan, meningkatkan asupan nutrien.
Pertumbuhan tanaman ditingkatkan secara tidak langsung karena PGPR menghasilkan
snyawa anti mikroba yang menekan pertumbuhan fungi penyebab penyakit tumbuhan
(fitopatogenik).
Kemampuan PGPR
sebagai agen hayati adalah karena kemampuanya bersaing untuk mendapatkan zat
makanan, atau hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida,
antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen.
Rhizobakteri adalah bakteri ynag hidup di daerah perakaran dan perperan penting
dalam pertumbuhan tanaman. Pada dasarnya rhizobakteri dapat dibedaakan menjadi
dua golongan yaitu rhizobakteri yang memacu pertumbuhan tanaman atau PGPR
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria) dan rhizobakteri yang merugikan tanaman atau DRB (deleterius rhizobacteria) . PGPR dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman melalui mekanisme : produksi hormon pertumbuhan, kemampuan fiksasi nitrogen dari uadara untuk menigkatkan ketersediaan nitrogen tanah, penghasil osmoprotektan pada kondisi cekaman kekeringan dan penghasil osmolit tertentu yang dapat membunuh patogen tanman di tanah. Kemampuan lain yaitu mampu memproduksi osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan.
(Plant Growth Promoting Rhizobacteria) dan rhizobakteri yang merugikan tanaman atau DRB (deleterius rhizobacteria) . PGPR dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman melalui mekanisme : produksi hormon pertumbuhan, kemampuan fiksasi nitrogen dari uadara untuk menigkatkan ketersediaan nitrogen tanah, penghasil osmoprotektan pada kondisi cekaman kekeringan dan penghasil osmolit tertentu yang dapat membunuh patogen tanman di tanah. Kemampuan lain yaitu mampu memproduksi osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan.
Penyakit tanaman adalah terjadinya perubahan fungsi sel dan jaringan inang
sebagai akibat gangguan yang terus menerus oleh agensi patogen atau faktor
lingkungan dan berkembangnya gejala dan Ketidak mampuan tumbuhan untuk memberi
hasil yang cukup kuantitas maupun kualitasnya. Konsep penyakit tumbuhan dikenal
dengan konsep segitiga penyakit yang merupakan konsep timbulnya penyakit yang
dipengaruhi oleh tanaman inang, patogen, dan faktor lingkungan. 1) Tanaman
inang adalah tanaman yang berpengaruh terhadap timbulnya suatu
penyakit tergantung dari jenis tanaman inang,
kerentanan tanaman, bentuk dan tingkat pertumbuhan, struktur dan kerapatan
populasi, kesehatan tanaman dan ketahanan inang dan tanaman inang terbagi atas
tujuh golongan yaitu tanaman inang rentan, tanaman inang resisten, tanaman
inang toleran, tanaman inang sekunder, tanaman inang primer, tanaman inang
alternative, dan tanaman inang perantara; 2)Pathogen adalah organisme hidup
yang mayoritas bersifat mikro dan mampu untuk dapat menimbulkan
penyakit tumbuhan antara lain yaitu cendawan, virus, bakteri, nematode,
spiroplasma dan riketsia; 3) Faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat
memberikan pengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit dapat berupa suhu udara,
intensitas dan lama curah hujan, intensitas dan lama embun, suhu tanah,
kandungan air tanah, kesuburan tanah, kandungan bahan organik, angin, api dan
pencemaran air (Adinugroho, 2008).
Pengenalan
jenis - jenis penyakit pada tanaman dapat dilakukan dengan cara percobaan di
lapang pada setiap fase pertumbuhan tanaman. Timbulnya penyakit dapat
bervariasi tergantung dari fase pertumbuhan tanaman, musim, lokasi dan varietas.
Kombinasi dari beberapa penyakit dapat terjadi misalnya kombinasi beberapa
cendawan atau bahkan kombinasi dari cendawan, bakteri, dan virus (Wigenasanta,
2004). Penyakit tanaman dapat didefinisikan sebagai penyimpangan sifat
normal yang menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis
seperti biasanya (Martoredjo, 1989).
Penyakit
tumbuhan dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. Penyebab penyakit
yang bersifat biotik umunya parasitik pada tumbuahn, dapat ditularkan, dan disebut
penyakit biogenik. Adapun penyakit yang bersifat abiotik tidak parasit, tidak
menular, dan biasa disebut penyakit fisiogenik. Penyebab yang parasitik terdiri
dari beberapa golongan seperti virus, viroid, fitoplasma bakteri, cendawan,
riketsia, protozoa, nematode dan tumbuhan tingkat tinggi (Sinaga, 2003).
Penyebab munculnya penyakit tanaman secara garis besar dibagi menjadi 3
golongan pathogen utama, yaitu jamur (cendawan), bakteri, dan virus. Jamur
(cendawan) merupakan salah satu yang berpotensi menyebabkan tanaman sakit yang
terbagi dalam 4 kelas, yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes, dan
Deuteromycetes. Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu dengan ukuran yang
sangat kecil (panjang 0,6µ - 3,5 µ), yang mempunyai bentuk bulat (kokus), silindris/batang
(bacillus), spiral (spirilia/spirilum), koma (vibrion) dan hanya dapat dilihat
dengan mikroskop dengan perbesaran tinggi. Virus adalah partikel hidup yang
ultra mikroskopik, parasit obligat, yang terdiri dari asam nukleat (RNA) dan
selubung protein.
Gejala adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tumbuhan itu sendiri sebagai
akibat adanya serangan suatu penyebab penyakit. Berdasarkan peruubahan yang
terjadi pada sel tumbuhan, gejala penyakit tumbuhan dapat dibagi 3 (tiga) yaitu
nekrotik, hipoplastis, dan hiperplastis. a) Nekrotik merupakan gejala yang
terjadi akibat adanya kerusakan pada sel atau bagian sel bahkan kematian sel. Nekrotik
terbagi atas hidrosis, klorosis, nekrosis, perforasi, busuk, eksudasi, layu,
mati ujung (die back), dan terbakar. b) Hipoplastis merupakan gejala yang
disebabkan karena terhambat atau terhentinya pertumbuhan sel. Hipoplastis
terbagi atas etiolasi, kerdil, klorosis, perubahan simetri, dan roset. c)
Hiperplastis merupakan gejala yang disebabkan karena adanya pertumbuhan sel yang
lebih dari biasanya (overdevelopment). Hiperplastis terbagi atas fasiasi,
intumesensia, erinose, kudis (Scab), menggulung atau mengeriting, prolepsis,
sapu, erinos, dan sesidium (Fahmi, 2012).
Penyebab penyakit fusarium yang
menyebabkan penyakit layu dan berada dalam pembuluh (vascular diseae)
dikelompokan dalam satu jenis (species), yaitu fusarium oxysforum Schlecht.
Jenis ini mempunyai banyak bentuk (forma) yang mengkhususkan diri pada jenis
(species) tumbuhan tertentu. Jamur yang menyebabkan penyakit layu Fusarium pada
tomat disebut Fusarium oxysporum. Jamur ini dulu di sebut Fusarium lycopersici
Sacc. Jamur membentuk miselium bersekat dan dapat tumbuh dengan baik pada
bermacam macam media agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula mula miselium tidak
berwarna, semakin tua warna menjadi krem, akhirnya koloni tampak mempunyai
benang benang berwarna oker. Pada miselium yang lebih tua terbentuk
klamidospora yang berdinding tebal. Jamur membentuk banyak mikrokonidium bersel
1, tidak berwarna , lonjong atau bulat telur,6-15x2,5-4 um.Mikrokonidium dapat
dibentukdalam pembuluh kayu dan terangkut ke atas bersama sama dengan air dan
hara tanah. Makrokonidium lebih jarang terdapat, berbentuk kumparan, tidak
berwarna , kebenyakan bersekat dua atau tiga, berukuran 25-33x3,5-5,5um.
Makrokonidium juga dapat membentuk klamidospora. Makrokonidium ini di bentuk
pada permukaan badan tanaman (akar dan daun) setelah tanaman mati. Dengan
melalui pembuluh jamur dapat mencapai buah dan menginfeksi biji.
Jamur F. oxysforum f,sp. lycopersici
di ketahui mempunyai banyak ras fisiologi. yang paling banyak disini adalah ras
1, meskipun agak sedikit ras 2 juga terdapat, Seterusnya ras 1 terdiri dari dua
galur. Galur putih mempunyai virulensi yang lebih tinggi daripada galur ungu.
Adanya ras ras galur galur ini akan mempersulit usaha untuk memperoleh variasi
tomat yang tahan. Daur penyakit F.oxysforum f.sp lycopersici dapat bertahan
lama dalam tanah dalam bentuk klamidospora. Jamur ini adalah jamur tanah ,atau
yang lebih lazim disebut sebagai soil inhabita, tanah yang sudah terinpestasi
sukar di bebaskan kembali dari jamur adanya tumbuhan inang, jamur dapat
bertahan dalam tanah lebih dari dari 10 tahun. Jamur mengadakan infeksinya pada
akar, terutama melalui luka luka, atau melalui luka pada akar yang terjadi
akibat munculnya akar lateral. Meskipun demikian jamur dapat juga mengadakan
infeksi pada akar yang tidak mempunyai lubang khususnya pada ujung akar. Jamur
berkembang sebentar dalam jaringan parenkim, lalu menetap dan berkembang dalam
berlkas pembuluh. Jamur dapat memakai bermacam macam luka untuk jalan
infeksinya, misalnya luka karena pemindahan bibit, karena pembumbungan atau
luka karena serangga. Nematoda puru akar membantu infeksi fusarium. Jamur
dapat menginfeksi buah, sehingga terdapat kemungkinan bahwa jamur trbawa oleh
biji. Jamur tersebar setempat setempat karena pengangkutan bibit, tanah yang
terbawa angin atau air, atau oleh pertanian.
Jamur fusarium yang berada dalam
pembuluh menyebabkan kelayuan terdapat beberapa teori, yaitu teori penyumbat,
teori toksin, dan teori enzim. Semula orang berpendapat bahwa jamur dalam
pembuluh kayu mengganggu pengangkutan air, Tetapi dibuktikan bahwa miselium
dalam xilem itu tidak cukup untuk menyumbat aliran air. Lalu dikatakan bahwa penyumbatan
juga terjadi karena bahan bahan koloidal. Jamur membentuk polipeptida,
yang di sebut likomarasmin, suatu toksin yang dapat mengganggu permeabilan
membran plasma tanaman. Di samping itu F.o. lycopersici memberi senyawa yang
lebih sederhana, yaitu asam fusarat (fusaric acid). Jika toksin toksin
diberikan kepada potongan ranting tomat, daun daun pada ranting akan layu,
tetapi kelayuannya tidak sama dengan gejala kelayuanyang terjadi di dalam.
Fusarium menghasilkan enzim pektolitik, terutama pektin-metil-esterase (PME)
dan depolimerase (DP). PME menghilangkan metil pada rantai pektin dan
terjadilah asam pektat (pectic acid). DP memecah asam pektat menjadi
poligalakturonida dengan bermacam macam berat melekul.
Enzim enzim memecah bahan pektin
dalam dinding sel pembuluh kayu, yang juga masuk ke dalam ke dinding parenkim
xilem. Fragmen fragmen asam pektat masuk kedalam pembuluh kayu dan membentuk
massa koloidal, yang mungkin mengandung bahan nonpektin juga, yang dapat
menyumbat pembuluh. Menjadi coklatnya berkas pembuluh disebabkan karena fenol
fenol yang terlepas dengan cara yang kurang diketahui, yang masuk kedalam
pembuluh dan segera mengalami polimerisasi menjadi melanin yang berwarna coklat
oleh sistem fenol oksidase tumbuhan inang. Bahan berwarna ini terutama diserap
oleh pembuluh kayu yang berlignin yang menyebabkan warna coklat yang khas
pada penyakit layu Fusarium. Faktor faktor yang mempengaruhi penyakit. Penyakit
layu fusarium tidak ditemukan pada tanaman tomat dataran rendah, dan penyakit layu
di dataran rendah terutama adalah layu bakteri. Ini sejalan dengan penelitian,
bahwa penyakit layu Fusarium berkembang pada suhu tanah 21-330C, dengan
suhu optimumnya adalah 280C. Sedangkan kelembapan tanah yang
membantu tanaman, ternyata juga membantu perkembangan penyakit. Seperti
kebanyakan fusarium, penyebab penyakit ini dapat hidup pada pH tanah yang luas
variasinya. Di banyak negara diketahui bahwa penyakit akan berkambang lebih
berat bila tanah mngandung banyak nitrogen tetapi miskin akan kalium. Tomat
yang pertumbuhannya baik akan lebih cepat menunjukan gejala penyakit daripada
yang kurus. Di lain pihak diketahui bahwa infeksi lebih mudah terjadi jika
kadar nitrogen rendah dan kadar kalium tinggi. Penyakit cendrung berkambang
lebih cepat pada tanaman yang mengalami defisiensi kalium, yang terjadi bila
ion kalsium tidak mobil karena kadar ion magnesium dan fosfat yang tinggi.
Bercak Daun jambu biji (Psidiumguajava L.) disebabkan oleh Cercosporapsidii
Rangel; Pestaliopsispsidii (Pat.) Mordue dengan gejala penyakit berupa Cendawan Cercosporapsidii
menyebabkan gejala bercak putih. Gejala awal berupa bercak bulat, kurang
teratur bentuknya, dan berwarna merah kecokelatan. Bagian tengah bercak
berwarna putih. Bercak yang bersatu membentuk bercak yang lebih besar berwarna
putih yang dibatasi oleh halo kecokelatan. Gejala penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh Pestaloiopsispsidi selain menyebabkan bercak pada daun juga menyerang
buah dan mengakibatkankan kerbuah. Penyakit bercak daun jambu biji memiliki
ciri-ciri Konidiofor tidak mengelompok dan biasanya lurus, bersekat, serta
berukuran 10-50 x 2-4 µm. Konidium berwarna cokelat kekuningan pucat, berbentuk
gada, membentuk rantai atau tidak, bersekat 3-5, dan berukuran 25-90 x 2-5
µm.
V. KESIMPULAN
1. Metode identifikasi patogen tanaman
ada empat yaitu teknik molekuler, Polymerase Chain Reaction (PCR), teknik
serologi dan Mikroskop elektron payar Scanning Electron Microscope (SEM).
2. Pengendalian penyakit tanaman secara
hayati adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan
jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme
kehidupan oganisma lain selain manusia.
3. Mikoriza dapat membantu perkembangan tanaman
ini karena dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan sebagai
penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, Meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, Meningkatkan produksi
hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. Menjamin
terselenggaranya proses biogeokemis.
4. Manfaat Jamur Trichoderma sp yaitu sebagai organisme pengurai dan membantu proses
decomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos, sebagai agensia hayati,
sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator
pertumbuhan tanaman.
5. PGPR
memacu pertumbuhan tanaman dengan peranan yang penting, perlindungan hasil
panen dan kesuburan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2004. Pedoman Peengendalian Penyakit Tugro Pada Tanaman Padi. Direktorat
Perlindungan Pangan, Dirjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.
Adams,
P. B. 1990. The potential of
mycoparasites for biological control of plant: Diseases.
Annun.rev.Phytopathol, 28:59-72
Amalia, R.
2007. Pengaruh Perlakuan Benih Menggunakan Rizobakteri Pemacu
Pertumbuhan Tanaman ( RPPT ) dan Pemupukan P terhadap Pengendalian Penyakit
Antraknosa, serta Pertumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hal.
Ashari, S.
1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press. Jakarta. 468
hal.
Baker,
K. F. dan R. J. Cook. 1982. Biological
control of plant pathogen. The American Phytopathological Society. St.
Paul, Minnsota. 433pp.
Berlian,N.
V. A, 2003. Bawang Merah. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Bofante-Fasolo,
P. 1995, Anatomy and morfology of VA mycorrhizae,
/n VA Myccorrhiza,
CRC Pres. lnc. 5-34.
Bowen, G.
D., and Rovira, A. D. 1999. The rhizosphere and its management to improve plant growth. Adv.
Agron.
.
Brundrett,
M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR
Monograph 32. 374 +x p.
Burge, M. N.
1988. Fungi in biological control systems.
Manchester Univ. Press. 296 pp.
Campbell. 1989. Biological control of microbial plant
pathogens. Cambridge Uni. Press. 218
pp.
Desmawati,
2008. Pemanfaatan Plant Growth Promoting Rhizobacter ( PGPR ) prospek
yang menjanjikan dalam berusaha tani tanaman hortikultura.http://ditlin.hortikultura.go.id/tulisan/desmawati.htm
diakses
tanggal 20 November 2016
Dickson, S., A. Smith, and S. Smith.
1999. VA Mycorrhizal structures and their
visualization using laser scanning convocal microscopy (LSCM). p. 219-220. In:
F.A. Smith et al. (eds.). Proc. Int.
Conf. Mycorrhizae in Sustainable Trop. Agric. and Forest Ecosystem. Bogor,
Indonesia, Oct. 27-30, 1997
Fakuara, Y. 1988. Mikoriza. Teori dan
Kegunaan dalam Praktek. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marschner, H, David,
and Nil. 2000. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press. London.
Flint
L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah
Pengantar. Kanisius. Yogyakarta
Gardner,
F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. Fisiologi tanaman budidaya.Terjemahan.
H. Susilo, Subiyanto (Ed). UI Press. Jakarta.
Gandanegara,
S. 2007. Azora pupuk hayati untuk tanaman jagung dan sayur.Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi. BATAN.
Harley,
J. L. and M. S. Smith. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, Inc. New
York. 483p.
Istikorini,
Y. 2002. Pengendalian penyakit tumbuhan
secara hayati yang ekologis dan berkelanjutan. http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/yunik_istikorini.htm.
diakses 20 November 2016
Kabirun,
S. 1994. Peranan endomikoriza dalam pertanian. Makalah disajikan dalam Kursus
Singkat Teknologi
Mikoriza dari 11 Desember 1989 - 7 Januari 1990. PAU Bioteknologi lPB. Bogor.
11 h.
Killham, K, 1994. Soil
ecology. Cambridge University Press.
Kloepper,
J.W., & Schroth, M.N. 1978. Plant growth-promoting rhizobacteria
onradish.879-882. Dlm. Proc. 4th into Conf. Plant Pathogenic Bact.
Gibert-Clarey,Tours, Franco
Linderman, R. G., 1996. Role
of VAM Fungi In Biocontrol. Mycoorhizal and Plant Health, APS Press,
St. Paul, Minnesota. p. 1-25.
Manan S. 1993. Pengaruh mikoriza pada pertumbuhan semai Pinus merkusi di persemaian.
Kuliah silvikultur umum. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hlm 247-261.
Marianah.
2013. Analisa Pemberian Trichoderma sp
Terhadap Pertumbuhan Kedelai. Balai Pelatihan Pertanian. Jambi
McGonigle,
T.P.M. and M.H. Miller, 1993. Mycorrhizal
development and phosphorus absorption in maize under conventional and reduced
tillage. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 (4) : 1002-1006.
Mosse, B. 1981. The application of VA micorrhiza research
agriculture, ln Proc. training course on mycorrhiza research techniques,
Serdang, MalYsia. P. 99-108.
Morte,
A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect
of drought stress on growth and water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense - Tervesia claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 :
115-119.
Morton
B.J. 1988. TaxonomY of mycorrhizal fungi
clasification, nomenclatur, and identification. Mycotaxon, 32: p. 267 -324.
Nuhamara,
S.T., 1994. Peranan mikoriza untuk
reklamasi lahan kritis. Program Pelatihan Biologi dan Bioteknologi
Mikoriza.
Nurhayati,
H., 2001. Pengaruh Pemberian Trichoderma
sp. Terhadap Daya Infeksi dan Ketahanan Hidup Sclerotium roflsii pada Akar
Bibit Cabai. Skripsi Fakultas Pertanian UNTAD, Palu
Rayburn,
E.B. 1993. Plant Growth and Development as the Basis of Forage.
Ruiz-Lozano JM, Azcon R, Gomez M. 1995. Effects of ArbuscularMycorrhizal Glomus
Species on Drought Tolerance: Physiological and Nutritional Plant Responses. Applied
and Env. Microbiol. 61(2): 456- 460.
Smith,
. 1995. Embryo culture of a tomato species hybrid .California Agriculture 40 :
24- 26.
Soepardi,
G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan
Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Supiandi, J. 1999. Produksi Enzim Kitinase dan Selulase Trichoderma sp. Isolat
Perkebunan Lada di Lampimg. Skripsi. FMIPA-UNRI, Pekanbaru.
Suwahyono.
2004. Trichoderma harzianum Indigeneous Untuk Pengendalian Hayati. Studi
Dasar Menuju Komersialissi dalam Panduan Seminar Biologi. Yogyakarta :
Fakultas Biologi UGM.
Suwahyono, U.
dan P. Wahyudi. 2004. Penggunaan
Biofungisida pada Usaha Perkebunan. Dalam internet : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/terapan_idx.php?doc=artikel_12.
Diakses tanggal 20 November 2015.
Sylvia.1990.
Plant growth promoting fungi from
zoysiagrass rhizosphere as potensial inducer of systemic resistance in
cucumbers. Phytopathology 84:1399- 1406.
Sylvia, D.M., dan D.B. Hubbell. 1986. Growth and sporulation of
vesiculararbuscular mycorrhizal fungi in aeroponic and membrane systems.
Symbiosis 1: 259-267.
Tandion,
H., 2008. Pengaruh Jamur Antagonis
Trichoderma harzianum dan Pupuk Organik
Untuk
Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai
(Glycine max L.) di Rumah Kasa.
http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 20 November 2016
Thorn,
G. 1997.The fungi in soil. In. Modern
Soil Mycorobiology, Elsas et al (eds). Marcel Dekker, New York – Basel. Pp:
63 – 127.
Untung,
2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gajah Mada University
Press. Yoyakarta.
Wijaya
S, 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma Harzia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar