Senin, 29 Mei 2017


KUNJUNGAN PRAKTIKUM DI  LABORATORIUM HAMA DAN PENYAKIT KEDU TEMANGGUNG

I. Tujuan Praktikum
1. Dapat mengetahui identifikasi penyakit tanaman dan cara menentukan gejala penyakit pada tanaman dan mengetahui jenis penyakit pada tanaman tersebut.
2. Dapat mengetahui teknik perbanyakan  jamur mikoriza pada tanaman.
3. Dapat mengetahui pengaruh Trichoderma sp pada tanaman.
4. Dapat mengetahui pengaruh PGPR pada tanaman.
           
II. Tinjauan Pustaka
Setiap makluh hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknya suatu komonitas yang mampu mengatur dirinya sendiri secara alami sehingga terjadi keseimbangan numerik antara semua unsur penyusun komonitas. Setiap aktifitas organisme dalam komonitasnya selalu berinteraksi dengan aktifitas organisme lain dalam suatu keterikatan dan ketergantungan yang rumit yang menghasilkan komonitas yang stabil. Interaksi antar organisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti simbiotik. ( Untung, 2006 ).

Menurut Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Ekosistem adalah kesatuan komonitas bersama-sama dengansistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komonitas makluh hidup bersama-sama dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur fisik lain yang terdapat di sawah tersebut. Konsep ekosistem, seperti konsep biofer menekankan hubungan dan saling ketergantungan yang tetap antara faktorfaktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan.

Dalam kurun waktu tertentu ekosistem alami dapat menjaga sifat-sifatnya dengan cukup konstan, terutama karena desakan-desakan yang dibuat oleh lingkungan fisik bersama sama dengan lingkungan timbal balik baik intra maupun antarspesies. Salah satu mekanisme
tersebut adalah predasi (peristiwa mangsamemangsa). Sifat mangsa-memangsa tersebut akan terus berlangsung dalam kehidupan dan dalam ekositem dan disebut dengan rantai makanan. Rantai makanan tersebut akan berlansung sepanjang masa, antara herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora (musuh alami). Tanaman juga disebut dengan produsen dan pemakan produsen disebut sebagai konsumen.

PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonim, 2004).

Mengingat bahaya yang sangat besar yang dapat ditimbulkan karena penggunaan pestisida kimia, perlu adanya usaha untuk meniadakan penggunaan pestisida kimia namun tetap mampu meningkatkan hasil pertanian. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan penggunaan pestisida nabati, yaitu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk melindungi tanaman dari serangan hama.
            Pertumbuhan tanaman tidak hanya terjadi pada bagian atas (tajuk) tanaman, tetapi juga terjadi pada bagian bawah (akar) tanaman. Akar menentukan kemampuan tanaman untuk menyerap nutrisi dan air, pertumbuhannya ditentukan oleh area daun yang aktif melakukan fotosintesis karena akar bergantung pada penangkapan energi oleh daun. Pada saat suplai energi terbatas, maka energi yang ada digunakan oleh jaringan tanaman yang paling dekat dengan lokasi fotosintesis. Oleh karena itu akar menerima energi hanya pada saat ada kelebihan energi yang diproduksi melalui fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan tajuk tanaman (Desmawati, 2008).

Proses pertumbuhan tajuk dan akar merupakan proses yang saling berkaitan  satu sama lain. Apabila terjadi gangguan pada salah satunya maka akan menyebabkan gangguan pada bagian lainnya. Misalnya pada kondisi kekurangan air dan nitrogen, pertumbuhan tajuk lebih mengalami hambatan daripada bagian akar. Hal ini disebabkan akar bertugas lebih banyak untuk mencari air dan sumber N dari dalam tanah untuk didistribusikan ke bagian tajuk. Pada saat ketersediaan air memadai maka pertumbuhan tajuk kembali ke arah normal sehingga distribusi fotosintat ke akar juga kembali normal (Ashari, 1995).

Tanaman membutuhkan sedikitnya 13 unsur hara untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa unsur berada dalam bentuk tersedia dalam semua jenis tanah, sedangkan lainnya dalam bentuk tidak tersedia sehingga membutuhkan tambahan dari luar tanah dalam bentuk pemupukan. Unsur hara ini berperan sebagai nutrisi bagi tanaman, sedangkan sistem yang mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah, yang disebut substansi pertumbuhan tanaman, hormon pertumbuhan tanaman (fitohormon), atau pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulator / PGR) (Gardner dkk., 1991).

Usaha untuk mengendalikan patogen umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan kimia atau pestisida. Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian seringkali menggunakan pestisida sintetis terutama untuk patogen yang sulit dikendalikan seperti patogen soil borne, virus. Petani cenderung menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. penggunaan pestisida yang berlebihan dan terus menerus telah menunjukkan suatu dampak negatif seperti timbulnya resurjensi hama atau patogen ke dua, resisten jasad patogen, matinya musuh-musuh alami sehingga mengganggu keseimbangan eksosistem. Umumnya petani melakukan hal tersebut karena modal yang telah dikeluarkan untuk produksi sudah cukup besar, sehingga mereka tidak berani menanggung resiko kegagalan usaha taninya. Disamping itu ketertarikan para petani menggunakan pestisida kimia disebabkan karena para konsumen bisanya mencari produk yang bersih dan cantik terutama untuk hortikultura serta kurang tersedianya bahan pengendalian non kimia yang efektif sehingga sampai saat ini pestisida sintetis masih menjadi primadona petani (Istikorini, 2002).

Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu lingkungan maka usaha pengendalian hama dan penyakit sekarang lebih di arahkan kepada pemanfaatan musuh-musuh alami hama dan patogen yang lebih kita kenal dengan pengendalian secara hayati. Pengendalian penyakit tanaman secara hayati dalam arti luas adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia (Campbell, 1989).
Pengendalian hayati ini dapat meliputi: 1). pergiliran tanaman dn beberapa system pengelolaan tanah, pemupukan, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi mikroba tanah, 2). Menempatkan atau menambahkan lansung mikroba antagonistik pada patogen atau yang sesuai dengan tanamannya, 3). Penggunaan bahan kimia untuk merubah mikroflora serta 4). Pemuliaan tanaman yang diketahui dapat merubah genom tanaman yang dapat mempengaruhi mikloflora baik pada pilosfere maupun rizosfere.

Dalam arti sempit pengendalian penyakit secara hayati adalah penambahan suatu mikroflora antagonis secara buatan ke dalam lingkungan untuk mengendalikan patogen. Pengendalian hayati dapat juga didefinisi sebagai upaya pengurangan kepadatan inokulum atau pengurangan kegiatan patogen atau parasit baik pada waktu aktif maupun dorman dengan menggunakan satu atau lebih organisma yang dilakukan secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis atau melalui penambahan satu atau lebih antagonis (Cook and Baker, 1983).

Pengendalian penyakit hayati oleh mikroorganisme baik jamur ataupun bakteri dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme seperti: antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu pertumbuhan tanaman (Cook dan Baker, 1974., Van Loon,2000., Kloeppet et al,1999.,Schippers et al, 1987). Mekanisme antibiosis merupakan penghambatan patogen oleh senyawa metabolik yang dihasilkan oleh agensia hayati seperti: enzim, senyawa-senyawa volatile, zat pelisis dan senyawa antibiotik lainnya. Salah satu contoh adalah agensia hayati kelompok jamur. Jamur diketahui mampu menghasilkan bermacam senyawa beracun (toksis) untuk melawan organisma lainnya (Burge, 1988). Dalam mengkolonisasi suatu substrat jamur mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sejumlah produk ektraselular yang bersifat racun. Kemampuan jamur menghasilkan suatu antibiotik sangatlah penting dalam menentukan kemampuannya untuk mengkolonisasi dan mengatur keberadaannya dalam suatu substrat. Antibiotik dapat juga mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel oleh enzim yang diikuti kematian yang mungkin disebabkan kekurangan hara, antibiotik ataupun kerusakan dinding sel. Dengan demikian berhasil tidaknya suatu organisma pengendali hayati sebagai agensia hayati bergantung pada kemampuan antibiotik yang dihasilkannya menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen tanaman (Baker dan Cook, 1982).

Penggunaan agensia pengendali hayati dalam mengendalikan organisma pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah: (1) aman bagi manusia, musuh alami; (2) dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder; (3) produk tanaman yang dihasilkan bebas dari residu pesti sida; (4) terdapat di sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis; dan (5) menghemat biaya produksi karena aplikasi cukup 1 atau 2 kali dalam satu musim panen. Pengendalian penyakit secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman yan tahan terhadap serangan patogen tertentu, atau dengan menggunakan mikro-organisme lain yang bersifat antagonistik atau parasit terhadap patogen tanaman. Penggunaan agensia hayati atau mikro-organisma antagonis dalam pengendalian hayati di Indonesia khususnya, baru mendapat perhatian dalam tahun-tahun terakhir ini. Beberapa agensia hayati yang telah diketahui dapat digunakan dalam pengendalian penyakit secara hayati antara lain jamur dan bakteri (Campbell, 1989).

Banyak jamur yang dapat bersaing secara antagonis. Hal ini data mempengaruhi keseimbangan alami mikroflora dalam tanah, filosfer ataupun rizosfer sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia hayati. Jamur parasit fakultatif dengan bantuan enzim dan senyawa toksik yang dapat dihasilkannya dapat merusak inangnya serta menyerap makanan dari sel-sel inang yang telah mati. Sebaran inang jamur golongan ini sangat luas dan dapat diperbanyak pada media buatan. Jamur mampu masuk melalui dinding hifa inang sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati. Beberapa diantara nya adalah Trichoderma spp, yang data digunakan untuk menekan jamur patogen seperti damping off . Jamur antagonis dengan modus aksi mikoprasitisme berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai biofungisida karena mampmengandalikan struktur istirahat patogen (Adams, 1990).

Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 1996). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman pertanian), ektomikoriza (pada jenis tanaman kehutanan), dan ektendomikoriza (Harley and Smith, 1983) Peranan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha produksi inokulan FMA yang diusahakan secara komersil. Jamur endomikoriza masuk ke dalam sel korteks dari akar serabut (feeder roots). Jamur ini tidak membentuk selubung yang padat, namun membentukmiselium yang tersusun longgar pada permukaan akar. jamur juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di dalam sel korteks, sehingga sering disebut dengan FMA (Vesicular-Arbuscular Miccorhizal), sebagai contoh jenis Globus dan Acaulospora (Thorn 1997). Menurut Bonfante dan Bianciotto (1995) , fase kontak dan prose infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presimbiotik) berhenti tumbuh dan akhirnya mati. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman, pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA . Hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu, jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa interseluler dan intraseluler, vesikula, dan arbuskula. Aspek morfologi fase itu secara luas dapat dilacak dengan amenggunakan kombinasi mikroskop sinar dan elektron.

            Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti pohon-pohon kecil yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom), berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan jamur. Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan penetrasi cabang hifa lateral yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan intraseluler ke dalam dinding sel inang. Arbuskula dengan cepat mengalami desintegrasi atau terjadi lisis/pecah dan membebaskan P ke tanaman inang. Luas permukaan arbuskula aktif secara metabolik per meter akar berkurang dengan waktu, sedangkan hifa mempunyai area permukaan lebih besar sesudah 63 hari setelah tanam (Smith, 1995). Arbuskula menyediakan area permukaan yang lebih luas untuk pertukaran metabolik. Arbuskula merupakan struktur FMA yang bersifat labil di dalam akar tanaman. Sifat kelabilan tersebut sangat tergantung pada metabolisme tanaman, bahan makanan dan intensitas radiasi matahari (mosse, 1981; Brundrett, 2003). Pembentukan struktur tersebut dipengaruhi jenis tanaman, umur tanaman, dan morfologi akar tanaman (Dickson dkk, 1999).

Vesikel merupakan suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat, mengandung cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ penyimpanan makanan atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi sebagai organ reproduksi dan struktur tahan. Vesikel selain dibentuk secara interseluler ada juga yang secar intraseluler. Pembentukan vesikel diawali dengan adanya perkembang sitoplasma hifa yang menjadi lebih padat, multinukleat dan mengandung partikel lipid dan glikogen. Sitoplasma menjadi semakin padat melalui proses kondensasi, dan organel semakin sulit untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (proses pendewasaan). Vesikel biasanya dibentuk lebih banyak di luar jaringan korteks pada daerah infeksi yang sudah tua, dan terbentuk setelah pembentukan arbuskul. Jika suplai metabolik dari tanaman inang berkurang, cadangan makanan itu akan
digunakan oleh cendawan sehingga vesikua mengalami degenerasi. Pada ordo Glomales tidka semua genus memiliki vesikula. Gigaspora dan Scutellospora adalah dua genus yang tidak membentuk vesikula di dalam akar. Oleh karena itu, ada dua pendapat yaitu ada yang menyebut cendawan mikoriza vesikulaarbuskula dan ada pla yang menggunakan istilah FMA .Nama vesikula-arbuskula tampaknya berdasrkan karakteristik struktur arbuskula yang terdapat di dalam sel-sel korteks dan vesikula yang terdapat di dalam atau di antara sel-sel korteks akar tanaman (Brundrett, 2003).

Hifa eksternal merupakan struktur lain dari FMA yang berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah. Adanya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman akan berperan penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih jauh. (Mosse, 1981). Distribusi hifa eksternal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan biotik seperti sifat kimia, fisika tanah, kandungan bahan norganik , mikroflora dan mikrofauna (Sylvia, 1990).

Spora, merupakan propagul yang bertahan hidup dibandingkan dengan hifa yang ada di dalam akar tanah. Spora terdapat pada ujung hifa eksternal dan dapat hidup selama berbulan-bulan, bahakan bertahun-tahun. Perkecambahan spora bergantung pada lingkunganseperti pH, temperatur, dan kelembaban tanah serta kadar bahan organik (Fakuara, Y. 1988). FMA mempunyai peran biologis yang cukup penting khususnya bagi tanaman yaitu (1) meningkatkan penyerapan hara, (2) sebagai elindung hayati (bioprotektor), (3) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, dan (4) berperan sinergis dengan mikroorganisme lain.

FMA mampu memperbaiki penyerapan hara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Cendawan itu menginfeksi akar tanaman kemudian memperoduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara. Unsur hara yang diserap tanaman yang terinfeksi FMA terutama P, karena P diperlukan tanaman dalam ujmlah relatif banyak, tetapi ketersediaannya treutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas sehingga seringkali menjadi salah satu faktor pembatas dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Selain unsur P unsurr mikro seperti Cu, Zn, dan B dapat ditingkatkan penyerapannya pada tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza (Marschner, 1992 ; David dan Nilsen, 2000). Selain itu juga Quimet dkk (1996) mengungkapkan bahwa kar yang terinfeksi mikoriza mampu menigkatkan penyerapan NH4 + dan NO3  serta Mg. Ruiz – Lozano , dkk (1995) menyatakan bahwa FMA dapat menigkatkan ketahanan tanaman pada kondisi kekurangan air melalui peningkatakn penyerapan hara, transpirasi daun dan efisiensi penggunaan air sehingag terjadi penurunan nisbah akar terhadap pupus. Keadaan itu menunjukkan bahwa fotosintesis tanaman menigkta dan fotosintat lebih banayk digunakan untuk pertumbuhan pupus. Kemampuan FMA tersebut dapat diajdikan alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.

FMA  mamapu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah dan juga dapat membantu pertumbuhana tanaman pada tanah yang tercemar logam berat seperti lahan bekas tamabang (bioremidiator) (Linderman, 1996; Setiadi, 2000). Tanaman yang berasosiasi dengan FMA akan mengalami perubahan dalam morfologi dan fisiologi untuk menahan serangan patogen akar. Menigkatnya ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar disebabkan oleh kemampuan FMA memproduksi antibiotika guna menghadang patogen tanah (Quimet dkk, 1996). Lignifikasi dinding sel tanaman inang akan menghambat serangan patogen akar dan perubahan secara fisiologis pada tanaman yang bermikoriza meningkatkan konsentrasi P dan K serta hara lain sehingga akan menurunkan kepekaan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Pada tanaman yang bermikoriza, mengandung isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tanahn terhadap serangan karena senywa tersebut dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen tanah.

Kontrol biologis terhadap penyakit tanaman mungkin sangat dipengaruhi oleh FMA melalui satu atau lebih mekanisme antara lain : (a) meningkatkan hara tanaman, (b) kompetisi pada fotosintat inang dan daerah infeksi, (c) perubahan morfologi pada akar dan jaringan akar, (d) perubahan pada unsur kimia dan jaringan tanaman, (e) pengurangan stress abaiotik, dan (f) perubahan mikroorganisme pada rizosfer. Menurut Miller dan Jastrow (1996) kontribusi FMA tanaman disamping perannya dalam pelapukan hara tanah juga berperan dalam sklus biokimia melalui pertukaran rasio konsentrasi unsur hara antara tanah, FMA , dengan tanaman. FMA juga bertindak menurunkan mobilitas hara melalui suplai hara lebih besar kepada tanaman inang. Di samping itu, FMA menjaga stabilitas agregasi tanah pada penambahan bahan organik yang cukup tinggi.
Peran FMA sebetulnya secara tidak langsung meningkatkan ketahanan terhadap kadar air yang ekstrim. Cendawan mikoriza dapat mempengaruhi kadar air tanaman inang (Morte dkk., 2000). Ada beberapa dugaan tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan, antara lain :
1. Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transpor air ke akar meningkat.
2. Peningkatan status P tanaman sehingga daya tahan tanaman terhadap kekeringan meningkat. Tanaman yang mengalami kahat P cenderung peka terhadap kekeringan.
3. Pertumbuhan yang lebih baik serta ditunjang adanya hifa eksternal cendawan yang dapat menjangkau air jauh ke dalam tanah sehingga tanaman dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan .
4. Pengaruh tidak langsung karena adanya hifa eksternal yang menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir tanah sehingga kemmpuan tanah menyimpan air meningkat.

Penghalang mekanis yang dibentuk oleh selubung cendawan Marx dan Davey (1969), menyimpulkan bahwa selubung dari ektomikoriza adalah penghalang fisik terhadap penembusan P. cinnamomi, karena pada pengamatan histologis dari berbagai ektomikoriza pada Pinus yang dibentuk berbagai simbion jamur yang telah diinokulasi dengan zoospora atau miselium, ektomikoriza yang telah masak dan mempunyai selubung yang lengkap tidak terserang oleh P. cinnamomi, sedang yang tidak bermikoriza terserang 100%. Hanya sedikit eksudat akar yang dapat melalui jaring Hartig dan selubung jamur ektomikoriza, tanpa diserap dan dipergunakan olehnya. Marx dan Davey (1969), menjelaskankan bahwa zoospora dari P. cinnamomi tidak engan kuat tertarik, baik pada akar tidak bermikoriza maupun yang bermikoriza. Setelah zoospora menjadi sista pada permukaan akar, dibandingkan dengan pada bagian lain dari akar, akan lebih cepat serta kuat berkecambah pada ujung dan bagian sel memanjang pada akar bermikoriza. Di lain pihak pada ektomikoriza, zoospora berkecambah dengan lambat serta tabung kecambah yang dihasilkannya tumbuh dengan lambat dan merana, dibandingkan dengan zoospora pada bagian akar yang dinding selnya mengandung suberin. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa ektomikoriza secara kimia tidak tertalu memacu Perkecambahan zoospora dan pertumbuhan tabung kecambah, seperti yang terjadi pada akar yang tidak bermikoriza yang mengandung suberin.

Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis mutualistis). Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai 'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu :
1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar.
3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin.
5. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.

Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk asosiasi antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Fungi mikoriza termasuk golongan endomikoriza. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang intraseluler yaitu hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel kesel yang lain (Manan, 1993). Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang  disebut arbuskula. Pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang berbentuk oval disebut vesikula. Arbuskula merupakan tempat pertukaran metabolit antara jamur dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman (Delvian, 2003), sedangkan vesikula merupakan organ penyimpan makanan dan berfungsi sebagai propagul (organ reproduktif).

Ciri utama arbuskula mikoriza adalah terdapatnya arbuskula di dalam korteks akar. Awalnya fungi tumbuh di antara sel-sel korteks, kemudian menembus dinding sel inang dan berkembang di dalam sel (Brundrett et al.,1996). Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokan menjadi Ektomikoriza (jamur yang menginfeksi tidak masuk ke dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks, akar yang terinfeksi membesar dan bercabang), Endomikoriza (Jamur yang menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel korteks dan akar yang terinfeksi tidak membesar).
Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar akan terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. Dipihak lain, jamur mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen. Mikoriza dapat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cinamomi dan dapat juga menekan serangan nematoda bengkak akar (Max, 1982).

Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jenis jamur tertentu dengan perakaran tanaman (Brundrett 1996). Simbiosis ini terdapat hampir pada semua jenis tanam. Kabirun (1994) mengelompokkan jamur mikoriza ini dalam dua jenis, yaitu endomikoriza dan ektonikoriza. Namun pada umumnya mikoriza lebih banyak dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dengan adanya penambahan kelompok mikoriza yang merupakan bentuk peralihan dari kedua jenis tadi, yaitu ektendomikoriza (Harley and Smith 1983) Jamur ektomikoriza memasuki akar dan mengganggu sebagian lamela tengah di antara sel korteks. Susunan hifa di sekeliling sel korteks ini disebut jaring Hartig. Ektomikoriza biasanya juga menyusun jaringan hifa dengan sangat rapat pada permukaan akar yang disebut selubung. Selubung ini sering disebut dengan selubung Pseudoparenkim (Kabirun 1994). Kebanyakan jamur yang membentuk mikoriza adalah Basidiomycetes (famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae, dan Sclerodermataceae). Beberapa ordo dari Ascomycetes, terutama Eurotiales, Tuberales, Pezizales, dan Helotiales, mempunyai spesies yang diduga membentuk ektomikoriza dengan pohon.
Jamur Trichoderma sp. merupakan salah satu agen antagonis yang bersifat saprofit dan bersifat parasit terhadap jamur lain. Jamur ini termasuk Eukariota, Divisi : Deuteromycota Kelas : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Trichoderma Pada umumnya jamur Trichoderma sp. hidup ditanah yang lembab, asam dan peka terhadap cahaya secara langsung. Pertumbuhan Trichoderma sp. yang optimum membutuhkan media dengan pH 4-5. Kemampuan jamur ini dalam menekan jamur patogen lebih berhasil pada tanah masam daripada tanah alkalis. Kelembaban yang dibutuhkan berkisar antara 80-90%.(Marianah, 2013)
Jamur Trichoderma sp mempunyai morfologi seperti konidiofora hylin (bening), tegak lurus, bercabang, bersepta, phialida tunggal atau kelompok, konidia hylin, oval, satu sel, biasanya mudah dikenali dengan pertumbuhan yang cepat dan bantalan konidia yang hijau (Supiandi, 1999). Koloni Trichoderma sp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi miselium yang masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau (Umrah, 1995 dalam Nurhayati, 2001). Koloni pada medium PDA (20°C) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam waktu 9 hari, semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan selanjutnya hijau redup terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat konidia. Konidifor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang terutama apeks dari cabang, dan berukuran (2,8-3,2) μm x (2,5-2,8) μm, dan berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus (Tindaon, 2008).

Trichoderma sp. adalah jenis cendawan yang tersebar luas di tanah, dan mempunyai sifat mikoparasitik. Mikoparasitik adalah kemampuan untuk menjadi parasit cendawan lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis-jenis cendawan fitopatogen. Beberapa cendawan fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma spp. Antara lain : Rhizoctonia solani, Fusarium spp, Lentinus lepidus, Phytium spp, Botrytis cinerea, Gloeosporium gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii yang menyerang tanaman jagung, kedelai, kentang, tomat, dan kacang buncis, kubis, cucumber, kapas, kacang tanah, pohon buah- buahan, semak dan tanaman hias (Tindaon, 2008).

Menurut Suwahyono dan Wahyudi (2004), mekanisme pengendalian jamur pathogen oleh Trichoderma harzianum secara alamiah dapat dikelompokan menjadi tiga fenomena dasar yang bekerja simultan yaitu :
1. Antibiosis, ternyata agensia aktif sebagai fungisida selain menghasilkan enzim dinding sel jamur juga menghasilkan senyawa antibiotic yang termasuk
kelompok furanon yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur
pathogen.
2. Untuk pembenihan sebagai dressing dicampur bersama pupuk cair atau dapat dicampur bersama pupuk atau herbisida melalui permukaan saluran irigasi atau ditanaman dalam bentuk kering ke tanah.
3. Pemberian Trichoderma harzianum mampu meningkatkan jumlah akar dan daun menjadi lebar.

Manfaat Jamur Trichoderma sp yaitu sebagai organisme pengurai dan membantu proses decomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos; sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Mengingat peran Trichoderma harzianum yang sangat besar dalam menjaga kesuburan tanah dan menekan populasi jamur patogen, sehingga T. Harzianum memiliki potensi sebagai kompos aktif juga sebagai agen pengendali organisme patogen. Menurut Suwahyono (2004) bahwa T. harzianum mengeluarkan zat aktif semacam hormone auksin yang merangsang pembentukan akar lateral. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik diperngaruhi oleh pertumbuhan akar, dengan pemberian kompos aktif maka pertumbuhan akar menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang berakibat juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik.

Trichoderma merupakan jamur tanah yang berperan dalam menguraikan bahan organik tanah, dimana bahan organik tanah ini mengandung beberapa komponen zat seperti N, P, S dan Mg dan unsur hara lain yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. Trichoderma dapat menguraikan posfat dari Al, Fe dan Mn. Pada pH rendah ion P akan mudah bersenyawa dengan Al, Fe dan Mn, sehingga tanaman sering mengalami keracunan Al dan Fe. Keracunan Al akan menghambat pemanjangan dan pertumbuhan akar primer serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. T. harzianum adalah jamur non mikoriza yang dapat menghasilkan enzim ketinase, sehingga dapat berfungsi sebagai pengendali penyakit tanaman. Ketinase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri serta berperan penting dalam pemecahan kitin (Wijaya, 2002).

PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) sebagai alternatif teknologi ramah lingkungan di lapangan, hal ini dilihat dari banyaknya petani dalam mengamankan produksi pertanian akibat serangan OPT menggunakan pestisida secara berlebihan, sehingga menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan, seperti terjadinya ledakan hama, timbulnya hama sekunder, matinya musuh alami, rusaknya lingkungan, bahkan penolakan pasar akibat produk mengandung residu pestisida (Gandanegara, 2007).

PGPR adalah sejenis bakteri yang menguntungkan yang hidup di sekitar perakaran tanaman dimana bakteri ini memberi keuntungan dalam proses fisiologi tanaman dan pertumbuhannya. Jika di daerah perakaran suatu tanaman kekurangan mikroorganisme menguntungkan maka akan menyebabkan tanaman menjadi terserang berbagai macam penyakit akar seperti layu dan busuk akar. Selain itu tanaman juga akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya (kurang subur).  PGPR ini pertama kali diteliti oleh Kloepper dan Schroth tahun 1978, dimana mereka menemukan bahwa keberadaan bakteri yang hidup di sekitar akar ini mampu memacu pertumbuhan tanaman jika diaplikasikan pada bibit/benih. Tidak hanya itu, tanaman nantinya akan beradaptasi terhadap hama dan penyakit.
Mekanisme PGPR dalam meningkatkan kesuburan  tanaman dapat terjadi melalui 3 cara (Amalia, 2007), yaitu:
1. Menekan perkembangan hama/penyakit (bioprotectant): mempunyai pengaruh langsung pada tanaman dalam menghadapi hama dan penyakit;
2. Memproduksi fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid); Sitokinin; Giberellin; dan penghambat produksi etilen: dapat menambah luas permukaan akar-akar halus;
3. Meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) .Bila penyerapan unsur hara dan air yang lebih baik dan nutrisi tercukupi, maka menyebabkan kebugaran tanaman juga semakin baik, sehingga akan semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap tekanan-tekanan, baik tekanan biologis (OPT) maupun non biologis (Iklim).

Aplikasi PGPR dapat dilakukan melalui pelapisan benih dan perendaman benih dalam suspensi. Bakteri PGPR merupakan bakteri tanah yang masa hidupnya tidak panjang karena itu perlu mengembalikan populasinya setiap akan menebar benih. Menurut Bowen and Rovira (1999), media perkecambahan  yang digunakan harus memiliki kemampuan untuk menahan air, bersih dan bebas dari benih lain, cendawan, bakteri atau zat beracun yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah, untuk media tanah dan pasir harus dalam keadaan yang cukup seragam dan sebelum  digunakan perlu dicuci dan disterilisasi.

Bibit akan tumbuh dengan baik di lapang jika kecambah tumbuh dengan baik pada fase perkecambahan. Penggunaan media perkecambahan yang tepat akan memudahkan kecambah untuk menembus permukaan media. Pada pengujian daya berkecambah benih maka akan dihitung persentase daya berkecambahnya (Raybum, 1993).

Inokulan PGPR dinamakan Azora, yang merupakan hasil pengembangan formulasi yang ditujukan untuk mengurangi kebutuhan pupuk N, P dan K. Azora ini mengandung isolat bakteri penghasil hormon tumbuhan, pemfiksasi N2, dan pelarut fosfat (Gandanegara, 2007).
Sebagaimana pemahaman mengenai kompleksnya lingkungan rizosfer, mekanisme aksi PGPR, dan aspek praktek dari formulasi inokulan, kita dapat menduga untuk mengetahui produk PGPR baru menjadi tersedia. Sukses dari produk ini akan bergantung pada kemampuan untuk mengelola rizosfer untuk meningkatkan ketahanan dan data kompetisi dari mikroorganisme bermanfaat ini (Bowen and Rovira, 1999).

Bakteri pemacu tumbuh secara tidak langsung juga menghambat patogen melalui sintesis senyawa antibiotik, sebagai kontrol biologis. Beberapa jenis endofitik bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inangnya dalam meningkatkan ketahanannya terhadap serangga hama melalui produksi toksin, di samping senyawa anti mikroba seperti fungi Pestalotiopsis microspora, danTaxus walkchiana yang memproduksi taxol (zat antikanker) (Raybum, 1993) melaporkan bawa endofitik Neotyphodium sp. Menghasilkan N-formilonine dan a paxiline (senyawa antiserangga hama).

PGPR ini pertama kali diteliti oleh Kloepper dan Schroth tahun 1978. Mereka menemukan bahwa keberadaan bakteri yang hidup di sekitar akar ini mampu memacu pertumbuhan tanaman jika diaplikasikan pada bibit/benih. Tidak hanya itu, tanaman nantinya akan beradaptasi terhadap hama dan penyakit. Rizobakteri yang bermanfaat dinamakan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR). Oleh karena itu, PGPR dapat dipertimbangkan secara fungsional sebagai bakteri bermanfaat yang mengkolonisasi akar (Desmawati, 2008).

          Efek PGPR pada tanaman yang diiinokulasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu: mendukung pertumbuhan tanaman dan pengendali secara biologis (biokontrol). Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan perbedaan dan batas antara keduanya. Strain PGPR Pseudomonas fluoresens dipilih untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil dari tanaman kentang, tetapi gagal mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan dalam kondisi gnotobiotic. Dan growth promotion yang terjadi pada kondisi tanah lapang berkaitan dengan reduksi populasi rizoplan asli, yaitu fungi dan bakteri (Gandanegara, 2007).

           Biokontrol pada beberapa kasus diperkirakan muncul akibat dari penyakit yang terbebaskan. Akar menunjukkan pemanjangan atau percabangan yang berlebih akibat perlakuan PGPR, dapat meloloskan infeksi dari fungi patogen asal tanah yang lebih mudah menginfeksi benih muda. Selain itu infeksi patogen yang terlokalisir dalam 1 area sistem perakaran mungkin diseimbangkan oleh suatu peningkatan global dalam biomassa akar sebagai kompensasi (Amalia, 2007).

Biokontrol terhadap fitopatogen tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Penekanan fitopatogen merupakan hasil dari produksi metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya sebagai sistem pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing dengan mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran tanaman untuk melindunginya (Amalia, 2007).
Berikut kelebihan dari PGPR (Desmawati, 2008), diantaranya :
1. Menambah fiksasi nitrogen di tanaman kacang – kacangan
2. Memacu pertumbuhan bakteri fiksasi nitrogen bebas
3.Meningkatkan ketersediaan nutrisi lain seperti phospat, belerang, besi dan tembaga
4. Memproduksi hormon tanaman
5.  Menambah bakteri dan cendawan yang menguntungkan
6. Mengontrol hama dan penyakit tumbuhan
Ada beberapa kekurangan dalam produksi PGPR ini (Desmawati, 2008),  diantaranya :
1.                  Kekonsistenan pengaruh bakteri PGPR di laboratorium dengan di lapangan kadang – kadang berbeda.
2.                  Bakteri ini harus dapat diperbanyak dan diproduksi dalam bentuk yang optimum baik vialibilas maupun biologinya selama diaplikasikan di lapangan. Beberapa bakteri PGPR harus dilakukan re-inokulasi setelah diaplikasikan di lapangan seperti Rhizobia.
3.                  Tantangan lainnya berkaitan dengan regulasi / kebijakan suatu negara. Di beberapa negara kontrol terhadap produksi agens antagonis ini sangat ketat. Walaupun produk tersebut tidak berefek negatif pada manusia.
Tanaman inang bagi bakteri PGPR memiliki kisaran yang cukup luas, di antaranya adalah: barley, kedelai,  kanola, kapas, jagung, kacang-kacangan, padi, dan tanaman sayuran.


III. Metodologi
Praktikum Ilmu Penyakit Tanaman, mengenai  kunjungan di laboratorium hama dan penyakit tanaman kedu dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Kedu, Temanggung. Dilaksanakan pada hari Jum’at, 4  September 2016, Pukul 07.00 sampai selesai. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Ember beserta tutupnya, panic, kompor, dan pengaduk, Gula Jawa/Gula Merah sudah dicairkan (1 botol kecil aqua), air 10 liter yang sudah dimasak, sabun colek, dedak dan akar rumput gajah, bambu dan putri malu, jamur mikoriza, trichoderma sp, PGPR.
Cara Kerja pada praktikum pembuatan PGPR ini adalah menyiapkan ember ukuran 20 liter kemudian masukkan air yang yang sudah dididihkan kedalam ember dan masukkan dedak ke dalam ember yang sudah berisi air dan aduk hingga merata dan akar yang sudah di cuci bersih kedalam ember yang berisi air panas.Aduklah  naik turun akar agar cepat melunak. Tuangkan Molases kedalam ember dan diaduk hingga air dan molases merata. Fermentasikan selama 2 minggu. PGPR siap di saring dan digunakan. Cara kerja perbanyakan Trichoderma sp dengan perbanyakan isolat murni dilakukan dengan menggunakan media beras steril dan diinkubasi.   Trichoderma spp dapat dengan mudah diisolasi menggunakan medium Agar Kentang Dextrose (AKD) ditambah dengan Klorampenikol 0,25 gr/ltr medium.  Pengujian sifat antagonisme dari beberapa jenis Trichoderma spp yang diperoleh, dilakukan penanaman berpasangan dengan jamur patogen pada media AKD.  Kriteria untuk menentukan sifat antagonis terhadap jamur patogen adalah terjadinya zone penghambatan pertumbuhan jamur patogen; Pada jarak tertentu antara Trichoderma spp dengan jamur patogen, bila diamati lebih teliti ternyata ujung-ujung hifa koloni patogen mengalami keabnormalan. Sedangkan Trichoderma spp yang diuji terus tumbuh bahkan menutupi koloni patogen; Hifa jamur patogen mengalami lisis/kosong;Terjadi proses mikoparasit. Cara kerja  mikoriza dengan  Metoda atau cara produksi inokulum mikoriza dan aplikasi secara langsung di lahan atau on farm production adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Lahan Diperlukan bedengan berukuran 25 m 2 untuk menghasilkan 4 000 kg inokulum berupa campuran tanah spora dan akar terinfeksi Sebaiknya dipilih lahan yang kurang subur yang dekat dengan areal penanaman penanaman. 2. Sterilisasi Lahan dilakukan pada lahan di atas disebarkan 50--60 g dazomet granular per m2, diaduk merata lalu disiram air untuk melarutkan butiran dazomet dan ditutup plastik . Perlakukan berikutnya adalah pencangkulan selain untuk meratakan hasil, juga untuk menguapkan sisa fumigasi.Lima hari kemudian bedeng tersebut dapat digunakan. 3. Inokulasi dilakukan pada tiap lubang yang dibuatdiberikan starter inokulumdari jenis cendawan mikoriza yang akan dikembang biakkan Tanaman inang dapat berupa jagung sorgum atau puerariaUntuk menjamin terjadinya infeksi pada media pengecambahan dapat diberi inokulum sebagai perlakuan pra inokulasi sebelum ditanam di bedeng perbanyakan. 4. Multiplikasi Perawatan tanaman perlu dilakukan selama pertumbuhan tanaman di lahan atau bedeng pembiakan  pembiakan. (betina) tersebut. Setelah tanaman inang keluar bunga jantan atau betina sebaiknya digunting agar tanaman dapat merangsang terbentuknya spora cendawan mikoriza di lahan tersebut. 5. Panen inokulum setelah tanaman mengering, inokulum. 20-tanaman. diberikan.tanah bedeng tersebut sudah dapat digunakan sebagai inokulum. Pengambilan tanah sebagai inokulum dilakukan hingga kedalaman sebatas lapisan olah yang telah dilakukan sebelumnya (20 30 cm). 6. Pemakaian hasil Hasil panen dapat langsung diaplikasikan pada tanaman ubi kayu dengan dosis 200 g per tanaman Stek ubi kayu ditanamkan pada lubang tersebut tepat diatas permukaan inokulum yang diberikan 5. Panen Inokulum Setelah tanaman inang mengering anyakan.

IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan
Pengendalian penyakit tanaman secara hayati adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia.
Pengendalian hayati ini dapat meliputi: 1). pergiliran tanaman dan beberapa system pengelolaan tanah, pemupukan, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi mikroba tanah, 2). Menempatkan atau menambahkan langsung mikroba antagonistik pada patogen atau yang sesuai dengan tanamannya, 3). Penggunaan bahan kimia untuk merubah mikroflora serta 4). Pemuliaan tanaman yang diketahui dapat merubah genom tanaman yang dapat mempengaruhi mikloflora baik pada pilosfere maupun rizosfere.

Pengendalian penyakit hayati oleh mikroorganisme baik jamur ataupun bakteri dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme seperti: antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu pertumbuhan tanaman. Mekanisme antibiosis merupakan penghambatan patogen oleh senyawa metabolik yang dihasilkan oleh agensia hayati seperti: enzim, senyawa-senyawa volatile, zat pelisis dan senyawa antibiotik lainnya. Salah satu contoh adalah agensia hayati kelompok jamur. Jamur diketahui mampu menghasilkan bermacam senyawa beracun (toksis) untuk melawan organisma lainnya. Dalam mengkolonisasi suatu substrat jamur mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sejumlah produk ektraselular yang bersifat racun. Kemampuan jamur menghasilkan suatu antibiotik sangatlah penting dalam menentukan kemampuannya untuk mengkolonisasi dan mengatur keberadaannya dalam suatu substrat. Antibiotik dapat juga mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel oleh enzim yang diikuti kematian yang mungkin disebabkan kekurangan hara, antibiotik ataupun kerusakan dinding sel. Dengan demikian berhasil tidaknya suatu organisma pengendali hayati sebagai agensia hayati bergantung pada kemampuan antibiotik yang dihasilkannya menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen tanaman.
Penggunaan agensia pengendali hayati dalam mengendalikan organisma pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah:
1.                   Aman bagi manusia, musuh alami.
2.                  Dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder.
3.                   Produk tanaman yang dihasilkan bebas dari residu pestisida
4.                  Terdapat di sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis.
5.                  Menghemat biaya produksi karena aplikasi cukup 1 atau 2 kali dalam satu musim panen.
Pengendalian penyakit secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman yan tahan terhadap serangan patogen tertentu, atau dengan menggunakan mikro-organisme lain yang bersifat antagonistik atau parasit terhadap patogen tanaman. Penggunaan agensia hayati atau mikro-organisma antagonis dalam pengendalian hayati di Indonesia khususnya, baru mendapat perhatian dalam tahun-tahun terakhir ini. Beberapa agensia hayati yang telah diketahui dapat digunakan dalam pengendalian penyakit secara hayati antara lain jamur dan bakteri.
Pengendalian penyakit secara hayati dilakukan dengan menggunakan jamur mikoriza, trichoderma sp, dan PGPR. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman. Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman pertanian), ektomikoriza (pada jenis tanaman kehutanan), dan ektendomikoriza. Peranan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha produksi inokulan FMA yang diusahakan secara komersil. Jamur endomikoriza masuk ke dalam sel korteks dari akar serabut (feeder roots). Jamur ini tidak membentuk selubung yang padat, namun membentuk miselium yang tersusun longgar pada permukaan akar. jamur juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di dalam sel korteks, sehingga sering disebut dengan FMA (Vesicular-Arbuscular Miccorhizal), sebagai contoh jenis Globus dan Acaulospora. Fase kontak dan prose infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presimbiotik) berhenti tumbuh dan akhirnya mati. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman, pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA . Hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang berhasil dengan bakal calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu, jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa interseluler dan intraseluler, vesikula, dan arbuskula. Aspek morfologi fase itu secara luas dapat dilacak dengan amenggunakan kombinasi mikroskop sinar dan elektron.

Mikoriza dapat membantu perkembangan tanaman ini karena dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.

Perbaikan Struktur Tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa eksternal yang mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic binding agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian agregat mikro melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa FMA mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa eksternal bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit.

Serapan Air dan Hara. Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin
meningkat. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hifa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman. Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N.

Proteksi Dari Patogen dan Unsur Toksik. Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen.
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.

Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat. Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. FMA dapat terjadi secara alami pada tanaman pioneer di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

Mekanisme kerja jamur Trichoderma sp. sebagai agen pengendalian hayati adalah antagonis terhadap jamur lain. Penekanan patogen berlangsung dengan proses antibiosis parasitisme, kompetisi O2 dan ruang yang dapat mematikan patogen tersebut. Jamur Trichoderma sp. memiliki banyak manfaat diantaranya adalah sebagai berikut sebagai organisme pengurai, membantu proses dekomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos. Pengomposan secara alami akan memakan waktu 2-3 bulan akan tetapi jika menggunakan jamur sebagai dekomposer memakan waktu 14- 21 hari. Selain itu jamur Trichoderma sp. sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Biakan jamur trichoderma dalam media aplikatif dedak bertindak sebagai biodekomposer yaitu mendekomposisi limbah organik menjadi kompos yang bermutu, serta dapat juga berlaku sebagai biofungisida yaitu menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman.

Manfaat Jamur Trichoderma sp yaitu sebagai organisme pengurai dan membantu proses decomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos, sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman. Trichoderma sp berperan dalam menjaga kesuburan tanah  dan menekan populasi jamur patogen sehingga memiliki potensi sebagai kompos aktif juga sebagai agen pengendali organisme. Trichoderma sp mengeluarkan zat aktif semacam hormone auksin yang merangsang pembentukan akar lateral. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik diperngaruhi oleh pertumbuhan akar, dengan pemberian kompos aktif maka pertumbuhan akar menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang berakibat juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik.

Trichoderma merupakan jamur tanah yang berperan dalam menguraikan bahan organik tanah, dimana bahan organik tanah ini mengandung beberapa komponen zat seperti N, P, S dan Mg dan unsur hara lain yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. Trichoderma dapat menguraikan posfat dari Al, Fe dan Mn. Pada pH rendah ion P akan mudah bersenyawa dengan Al, Fe dan Mn, sehingga tanaman sering mengalami keracunan Al dan Fe. Keracunan Al akan menghambat pemanjangan dan pertumbuhan akar primer serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. Trichoderma adalah jamur non mikoriza yang dapat menghasilkan enzim ketinase, sehingga dapat berfungsi sebagai pengendali penyakit tanaman. Ketinase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri serta berperan penting dalam pemecahan kitin.

Pembuatan PGPR  dengan  akar rumput gajah, akar bambu, akar putri malu merupakan salah satu dari akar-akar tanaman yang lainnya seperti halnya akar jagung yang tahan terhadap hama dan penyakit. Pada akar rumput gajah ini justru terdapat miktoba yang dapat mendukung perkembangan dan perkembanagannya, karena  mikroba yang terdapat didalamnya meriupakan mikroba baik dan dapat member manfaat yang banyak pada tanaman itu sendiri terutama nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut serta tidak berbahaya bagi manusia. mekanisme PGPR dalam meningkatkan kesuburan  tanaman dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu:
1.      Menekan perkembangan hama/penyakit (bioprotectant): mempunyai pengaruh langsung pada tanaman dalam menghadapi hama dan penyakit;
2.      Memproduksi fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid); Sitokinin; Giberellin; dan penghambat produksi etilen: dapat menambah luas permukaan akar-akar halus;
3.      Meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) .Bila penyerapan unsur hara dan air yang lebih baik dan nutrisi tercukupi, maka menyebabkan kebugaran tanaman juga semakin baik, sehingga akan semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap tekanan-tekanan, baik tekanan biologis (OPT) maupun non biologis (Iklim).
            Mikroba yang digunakan juga ini secara biologis tersedia dialam, tetapi hanya saj terdapat beberapa hambatan untuk penggunaan mikroba ini sendiri, seperti halnya mikroba ini di anggap berbahayakan bagi manusia disekitarnya. Berkaitan dengan regulasi / kebijakan suatu negara. Di beberapa negara kontrol terhadap produksi agens antagonis ini sangat ketat. Walaupun produk tersebut tidak berefek negatif pada manusia.
           Akar- akar tanaman direndam menggunakan air kemudian diseker. Setelah diseker air yang digunakan dalam proses pembuatan PGPR fungsinya ialah sebagai pelarut yakni melarutkan dan diendapkan selama dua malam dan sudah terbentuk bakteri pada tempat tersebut.Penambahan gula merah pada praktikum ini berfungsi sebagai makanan mikroba pengurai agar mikroba dapat berfungsi dengan baik dalam pembuatan PGPR.  Dalam pembuatan PGPR juga harus ditutup dan diberi sabun colek agar tidak ada mikroorganisme pengganggu yang bisa masuk yang dapat mengganggu proses penguraian atau proses pembuatan pestisida serta memberikan isolasi atau lakban agar tidak dapat masuk.

            Mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan ketahanan tanaman terjadi antara lain melalui : kemampuan meproduksi ZPT (zat pengatur tumbuh ), pelarutan fosfat yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat, dan kemampuan produksi antibiotik, memproduksi siderofor yang berperan dalaminduksi resistensi atau peningkatan ketahanan tanaman terhadao OPT. Serta peningkatan produksi senyawa pertanaman tanaman seperti fitoaleksin. Penyerapan unsur hara dan air yang lebih baik dan nutrisis yang tercukupi, kebugaran tanaman akan semakin baik, sehimgga semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap gangguan biotik (hama dan penyakit) maupun abiotik (kekeringan, kebanjiran).
            PGPR memacu pertumbuhan tanaman dengan peranan yang penting, perlindungan hasil panen dan kesuburan lahan. PGPR dapat merangsang pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, PGPR merangsang pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan, meningkatkan asupan nutrien. Pertumbuhan tanaman ditingkatkan secara tidak langsung karena PGPR menghasilkan snyawa anti mikroba yang menekan pertumbuhan fungi penyebab penyakit tumbuhan (fitopatogenik).
            Kemampuan PGPR sebagai agen hayati adalah karena kemampuanya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen. Rhizobakteri adalah bakteri ynag hidup di daerah perakaran dan perperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Pada dasarnya rhizobakteri dapat dibedaakan menjadi dua golongan yaitu rhizobakteri yang memacu pertumbuhan tanaman atau PGPR
(
Plant Growth Promoting Rhizobacteria) dan rhizobakteri yang merugikan tanaman atau DRB (deleterius rhizobacteria) . PGPR dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman melalui mekanisme : produksi hormon pertumbuhan, kemampuan fiksasi nitrogen dari uadara untuk menigkatkan ketersediaan nitrogen tanah, penghasil osmoprotektan pada kondisi cekaman kekeringan dan penghasil osmolit tertentu yang dapat membunuh patogen tanman di tanah. Kemampuan lain yaitu mampu memproduksi osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan.  
Penyakit tanaman adalah terjadinya perubahan fungsi sel dan jaringan inang sebagai akibat gangguan yang terus menerus oleh agensi patogen atau faktor lingkungan dan berkembangnya gejala dan Ketidak mampuan tumbuhan untuk memberi hasil yang cukup kuantitas maupun kualitasnya. Konsep penyakit tumbuhan dikenal dengan konsep segitiga penyakit yang merupakan konsep timbulnya penyakit yang dipengaruhi oleh tanaman inang, patogen, dan faktor lingkungan. 1) Tanaman inang adalah tanaman yang berpengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit  tergantung dari jenis tanaman   inang, kerentanan tanaman, bentuk dan tingkat pertumbuhan, struktur dan kerapatan populasi, kesehatan tanaman dan ketahanan inang dan tanaman inang terbagi atas tujuh golongan yaitu tanaman inang rentan, tanaman inang resisten, tanaman inang toleran, tanaman inang sekunder, tanaman inang primer, tanaman inang alternative, dan tanaman inang perantara; 2)Pathogen adalah organisme hidup yang mayoritas bersifat  mikro dan mampu untuk dapat menimbulkan penyakit tumbuhan antara lain yaitu cendawan, virus, bakteri, nematode, spiroplasma dan riketsia; 3) Faktor lingkungan merupakan faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit dapat berupa suhu udara, intensitas dan lama curah hujan, intensitas dan lama embun, suhu tanah, kandungan air tanah, kesuburan tanah, kandungan bahan organik, angin, api dan pencemaran air (Adinugroho, 2008).

Pengenalan jenis - jenis penyakit pada tanaman dapat dilakukan dengan cara percobaan di lapang pada setiap fase pertumbuhan tanaman. Timbulnya penyakit dapat bervariasi tergantung dari fase pertumbuhan tanaman, musim, lokasi dan varietas. Kombinasi dari beberapa penyakit dapat terjadi misalnya kombinasi beberapa cendawan atau bahkan kombinasi dari cendawan, bakteri, dan virus (Wigenasanta, 2004).  Penyakit tanaman dapat didefinisikan sebagai penyimpangan sifat normal yang menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti biasanya (Martoredjo, 1989).

Penyakit tumbuhan dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. Penyebab penyakit yang bersifat biotik umunya parasitik pada tumbuahn, dapat ditularkan, dan disebut penyakit biogenik. Adapun penyakit yang bersifat abiotik tidak parasit, tidak menular, dan biasa disebut penyakit fisiogenik. Penyebab yang parasitik terdiri dari beberapa golongan seperti virus, viroid, fitoplasma bakteri, cendawan, riketsia, protozoa, nematode dan tumbuhan tingkat tinggi (Sinaga, 2003).

Penyebab munculnya penyakit tanaman secara garis besar dibagi menjadi 3 golongan pathogen utama, yaitu jamur (cendawan), bakteri, dan virus. Jamur (cendawan) merupakan salah satu yang berpotensi menyebabkan tanaman sakit yang terbagi dalam 4 kelas, yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes. Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu dengan ukuran yang sangat kecil (panjang 0,6µ - 3,5 µ), yang mempunyai bentuk bulat (kokus), silindris/batang (bacillus), spiral (spirilia/spirilum), koma (vibrion) dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop dengan perbesaran tinggi. Virus adalah partikel hidup yang ultra mikroskopik, parasit obligat, yang terdiri dari asam nukleat (RNA) dan selubung protein.

Gejala adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tumbuhan itu sendiri sebagai akibat adanya serangan suatu penyebab penyakit. Berdasarkan peruubahan yang terjadi pada sel tumbuhan, gejala penyakit tumbuhan dapat dibagi 3 (tiga) yaitu nekrotik, hipoplastis, dan hiperplastis. a) Nekrotik merupakan gejala yang terjadi akibat adanya kerusakan pada sel atau bagian sel bahkan kematian sel. Nekrotik terbagi atas hidrosis, klorosis, nekrosis, perforasi, busuk, eksudasi, layu, mati ujung (die back), dan terbakar. b) Hipoplastis merupakan gejala yang disebabkan karena terhambat atau terhentinya pertumbuhan sel. Hipoplastis terbagi atas etiolasi, kerdil, klorosis, perubahan simetri, dan roset. c) Hiperplastis merupakan gejala yang disebabkan karena adanya pertumbuhan sel yang lebih dari biasanya (overdevelopment). Hiperplastis terbagi atas fasiasi, intumesensia, erinose, kudis (Scab), menggulung atau mengeriting, prolepsis, sapu, erinos, dan sesidium (Fahmi, 2012).  

Penyebab penyakit fusarium yang menyebabkan penyakit layu dan berada  dalam pembuluh (vascular diseae) dikelompokan dalam satu jenis (species), yaitu fusarium oxysforum Schlecht. Jenis ini mempunyai banyak bentuk (forma) yang mengkhususkan diri pada jenis (species) tumbuhan tertentu. Jamur yang menyebabkan penyakit layu Fusarium pada tomat disebut Fusarium oxysporum. Jamur ini dulu di sebut Fusarium lycopersici Sacc. Jamur membentuk miselium bersekat dan dapat tumbuh dengan baik pada bermacam macam media agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula mula miselium tidak berwarna, semakin tua warna menjadi krem, akhirnya koloni tampak mempunyai benang benang berwarna oker. Pada miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora yang berdinding tebal. Jamur membentuk banyak mikrokonidium bersel 1, tidak berwarna , lonjong atau bulat telur,6-15x2,5-4 um.Mikrokonidium dapat dibentukdalam pembuluh kayu dan terangkut ke atas bersama sama dengan air dan hara tanah. Makrokonidium lebih jarang terdapat, berbentuk kumparan, tidak berwarna , kebenyakan bersekat dua atau tiga, berukuran 25-33x3,5-5,5um. Makrokonidium juga dapat membentuk klamidospora. Makrokonidium ini di bentuk pada permukaan badan tanaman (akar dan daun) setelah tanaman mati. Dengan melalui pembuluh jamur dapat mencapai buah dan menginfeksi biji.

Jamur F. oxysforum f,sp. lycopersici di ketahui mempunyai banyak ras fisiologi. yang paling banyak disini adalah ras 1, meskipun agak sedikit ras 2 juga terdapat, Seterusnya ras 1 terdiri dari dua galur. Galur putih mempunyai virulensi yang lebih tinggi daripada galur ungu. Adanya ras ras galur galur ini akan mempersulit usaha untuk memperoleh variasi tomat yang tahan. Daur penyakit F.oxysforum f.sp lycopersici dapat bertahan lama dalam tanah dalam bentuk klamidospora. Jamur ini adalah jamur tanah ,atau yang lebih lazim disebut sebagai soil inhabita, tanah yang sudah terinpestasi sukar di bebaskan kembali dari jamur adanya tumbuhan inang, jamur dapat bertahan dalam tanah lebih dari dari 10 tahun. Jamur mengadakan infeksinya pada akar, terutama melalui luka luka, atau melalui luka pada akar yang terjadi akibat munculnya akar lateral. Meskipun demikian jamur dapat juga mengadakan infeksi pada akar yang tidak mempunyai lubang khususnya pada ujung akar. Jamur berkembang sebentar dalam jaringan parenkim, lalu menetap dan berkembang dalam berlkas pembuluh. Jamur dapat memakai bermacam macam luka untuk jalan infeksinya, misalnya luka karena pemindahan bibit, karena pembumbungan atau luka karena serangga.  Nematoda puru akar membantu infeksi fusarium. Jamur dapat menginfeksi buah, sehingga terdapat kemungkinan bahwa jamur trbawa oleh biji. Jamur tersebar setempat setempat karena pengangkutan bibit, tanah yang terbawa angin atau air, atau oleh pertanian.

Jamur fusarium yang berada dalam pembuluh menyebabkan kelayuan terdapat beberapa teori, yaitu teori penyumbat, teori toksin, dan teori enzim. Semula orang berpendapat bahwa jamur dalam pembuluh kayu mengganggu pengangkutan air, Tetapi dibuktikan bahwa miselium dalam xilem itu tidak cukup untuk menyumbat aliran air. Lalu dikatakan bahwa penyumbatan juga terjadi  karena bahan bahan koloidal. Jamur membentuk polipeptida, yang di sebut likomarasmin, suatu toksin yang dapat mengganggu permeabilan membran plasma tanaman. Di samping itu F.o. lycopersici memberi senyawa yang lebih sederhana, yaitu asam fusarat (fusaric acid). Jika toksin toksin diberikan kepada potongan ranting tomat, daun daun pada ranting akan layu, tetapi kelayuannya tidak sama dengan gejala kelayuanyang terjadi di dalam. Fusarium menghasilkan enzim pektolitik, terutama pektin-metil-esterase (PME) dan depolimerase (DP). PME menghilangkan metil pada rantai pektin dan terjadilah asam pektat (pectic acid). DP memecah asam pektat  menjadi poligalakturonida dengan bermacam macam berat melekul.

Enzim enzim memecah bahan pektin dalam dinding sel pembuluh kayu, yang juga masuk ke dalam ke dinding parenkim xilem. Fragmen fragmen asam pektat masuk kedalam pembuluh kayu dan membentuk massa koloidal, yang mungkin mengandung bahan nonpektin juga, yang dapat menyumbat pembuluh. Menjadi coklatnya berkas pembuluh disebabkan karena fenol fenol yang terlepas dengan cara yang kurang diketahui, yang masuk kedalam pembuluh dan segera mengalami polimerisasi menjadi melanin yang berwarna coklat oleh sistem fenol oksidase tumbuhan inang. Bahan berwarna ini terutama diserap oleh pembuluh kayu yang berlignin yang menyebabkan warna coklat  yang khas pada penyakit layu Fusarium. Faktor faktor yang mempengaruhi penyakit. Penyakit layu fusarium tidak ditemukan pada tanaman tomat dataran rendah, dan penyakit layu di dataran rendah terutama adalah layu bakteri. Ini sejalan dengan penelitian, bahwa penyakit layu Fusarium berkembang pada suhu tanah 21-330C, dengan suhu optimumnya adalah 280C. Sedangkan kelembapan tanah yang membantu tanaman, ternyata juga membantu perkembangan penyakit. Seperti kebanyakan fusarium, penyebab penyakit ini dapat hidup pada pH tanah yang luas variasinya. Di banyak negara diketahui bahwa penyakit akan berkambang lebih berat bila tanah mngandung banyak nitrogen tetapi miskin akan kalium. Tomat yang pertumbuhannya baik akan lebih cepat menunjukan gejala penyakit daripada yang kurus. Di lain pihak diketahui bahwa infeksi lebih mudah terjadi jika kadar nitrogen rendah dan kadar kalium tinggi. Penyakit cendrung berkambang lebih cepat pada tanaman yang mengalami defisiensi kalium, yang terjadi bila ion kalsium tidak mobil karena kadar ion magnesium dan fosfat yang tinggi.

Bercak Daun jambu biji (Psidiumguajava L.) disebabkan oleh Cercosporapsidii Rangel; Pestaliopsispsidii (Pat.) Mordue dengan gejala penyakit berupa Cendawan Cercosporapsidii menyebabkan gejala bercak putih. Gejala awal berupa bercak bulat, kurang teratur bentuknya, dan berwarna merah kecokelatan. Bagian tengah bercak berwarna putih. Bercak yang bersatu membentuk bercak yang lebih besar berwarna putih yang dibatasi oleh halo kecokelatan. Gejala penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Pestaloiopsispsidi selain menyebabkan bercak pada daun juga menyerang buah dan mengakibatkankan kerbuah. Penyakit bercak daun jambu biji memiliki ciri-ciri Konidiofor tidak mengelompok dan biasanya lurus, bersekat, serta berukuran 10-50 x 2-4 µm. Konidium berwarna cokelat kekuningan pucat, berbentuk gada, membentuk rantai atau tidak, bersekat 3-5, dan berukuran 25-90 x 2-5 µm. 

V. KESIMPULAN
1. Metode identifikasi patogen tanaman ada empat yaitu teknik molekuler, Polymerase Chain Reaction (PCR), teknik serologi dan Mikroskop elektron payar Scanning Electron Microscope (SEM).
2. Pengendalian penyakit tanaman secara hayati adalah setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia.
3.  Mikoriza dapat membantu perkembangan tanaman ini karena dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah, berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar, Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim, Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.
4.  Manfaat Jamur Trichoderma sp yaitu sebagai organisme pengurai dan membantu proses decomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos, sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah, stimulator pertumbuhan tanaman.
5. PGPR memacu pertumbuhan tanaman dengan peranan yang penting, perlindungan hasil panen dan kesuburan lahan.










DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Pedoman Peengendalian Penyakit Tugro Pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Pangan, Dirjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.

Adams, P. B. 1990. The potential of mycoparasites for biological control of plant: Diseases.
  Annun.rev.Phytopathol, 28:59-72

Amalia, R. 2007. Pengaruh Perlakuan Benih Menggunakan Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman ( RPPT ) dan Pemupukan P terhadap Pengendalian Penyakit Antraknosa, serta Pertumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hal.

Ashari, S. 1995.  Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press. Jakarta.  468 hal.

Baker, K. F. dan R. J. Cook. 1982. Biological control of plant pathogen. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnsota. 433pp.

Berlian,N. V. A, 2003. Bawang Merah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Bofante-Fasolo, P. 1995, Anatomy and morfology of VA mycorrhizae, /n VA Myccorrhiza,
   CRC Pres. lnc. 5-34.
Bowen, G. D., and Rovira, A. D. 1999. The rhizosphere and its management to improve plant growth. Adv. Agron.
.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. 374 +x p.

Burge, M. N. 1988. Fungi in biological control systems. Manchester Univ. Press. 296 pp.

Campbell. 1989. Biological control of microbial plant pathogens. Cambridge Uni. Press. 218
pp.
Desmawati, 2008. Pemanfaatan Plant Growth Promoting Rhizobacter ( PGPR ) prospek yang menjanjikan dalam berusaha tani tanaman hortikultura.http://ditlin.hortikultura.go.id/tulisan/desmawati.htm diakses tanggal 20 November 2016

Dickson, S., A. Smith, and S. Smith. 1999. VA Mycorrhizal structures and their visualization using laser scanning convocal microscopy (LSCM). p. 219-220. In: F.A. Smith et al. (eds.). Proc. Int. Conf. Mycorrhizae in Sustainable Trop. Agric. and Forest Ecosystem. Bogor, Indonesia, Oct. 27-30, 1997
Fakuara, Y. 1988. Mikoriza. Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marschner, H, David, and Nil. 2000. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press. London.
Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah Pengantar. Kanisius. Yogyakarta

Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchel. 1991. Fisiologi tanaman budidaya.Terjemahan. H. Susilo, Subiyanto (Ed). UI Press. Jakarta.

Gandanegara, S. 2007. Azora pupuk hayati untuk tanaman jagung dan sayur.Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi. BATAN.

Harley, J. L. and M. S. Smith. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, Inc. New York. 483p.

Istikorini, Y. 2002. Pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati yang ekologis dan berkelanjutan. http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/yunik_istikorini.htm. diakses 20 November 2016

Kabirun, S. 1994. Peranan endomikoriza dalam pertanian. Makalah disajikan dalam Kursus
Singkat Teknologi Mikoriza dari 11 Desember 1989 - 7 Januari 1990. PAU Bioteknologi lPB. Bogor. 11 h.

Killham, K, 1994. Soil ecology. Cambridge University Press.
Kloepper, J.W., & Schroth, M.N. 1978. Plant growth-promoting rhizobacteria onradish.879-882. Dlm. Proc. 4th into Conf. Plant Pathogenic Bact. Gibert-Clarey,Tours, Franco

Linderman, R. G., 1996. Role of VAM Fungi In Biocontrol. Mycoorhizal and Plant Health, APS Press, St. Paul, Minnesota. p. 1-25.
Manan S. 1993. Pengaruh mikoriza pada pertumbuhan semai Pinus merkusi di persemaian. Kuliah silvikultur umum. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hlm 247-261.
Marianah. 2013. Analisa Pemberian Trichoderma sp Terhadap Pertumbuhan Kedelai. Balai Pelatihan Pertanian. Jambi
McGonigle, T.P.M. and M.H. Miller, 1993. Mycorrhizal development and phosphorus absorption in maize under conventional and reduced tillage. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 (4) : 1002-1006.

Mosse, B. 1981. The application of VA micorrhiza research agriculture, ln Proc. training course on mycorrhiza research techniques, Serdang, MalYsia. P. 99-108.

Morte, A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect of drought stress on growth and water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense - Tervesia claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 : 115-119.

Morton B.J. 1988. TaxonomY of mycorrhizal fungi clasification, nomenclatur, and identification. Mycotaxon, 32: p. 267 -324.

Nuhamara, S.T., 1994. Peranan mikoriza untuk reklamasi lahan kritis. Program Pelatihan Biologi dan Bioteknologi Mikoriza.

Nurhayati, H., 2001. Pengaruh Pemberian Trichoderma sp. Terhadap Daya Infeksi dan Ketahanan Hidup Sclerotium roflsii pada Akar Bibit Cabai. Skripsi Fakultas Pertanian UNTAD, Palu

Rayburn, E.B. 1993. Plant Growth and Development as the Basis of Forage.

Ruiz-Lozano JM, Azcon R, Gomez M. 1995. Effects of ArbuscularMycorrhizal Glomus Species on Drought Tolerance: Physiological and Nutritional Plant Responses. Applied and Env. Microbiol. 61(2): 456- 460.
Smith, . 1995. Embryo culture of a tomato species hybrid .California Agriculture 40 : 24- 26.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Supiandi, J. 1999. Produksi Enzim Kitinase dan Selulase Trichoderma sp. Isolat Perkebunan Lada di Lampimg. Skripsi. FMIPA-UNRI, Pekanbaru.
Suwahyono. 2004. Trichoderma harzianum Indigeneous Untuk Pengendalian Hayati. Studi Dasar Menuju Komersialissi dalam Panduan Seminar Biologi. Yogyakarta : Fakultas Biologi UGM.

Suwahyono, U. dan P. Wahyudi. 2004. Penggunaan Biofungisida pada Usaha Perkebunan. Dalam internet : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/terapan_idx.php?doc=artikel_12. Diakses tanggal 20 November 2015.

Sylvia.1990. Plant growth promoting fungi from zoysiagrass rhizosphere as potensial inducer of systemic resistance in cucumbers. Phytopathology 84:1399- 1406.

Sylvia, D.M., dan D.B. Hubbell. 1986. Growth and sporulation of vesiculararbuscular mycorrhizal fungi in aeroponic and membrane systems. Symbiosis 1: 259-267.
Tandion, H., 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum dan Pupuk Organik
Untuk Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa. http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 20 November 2016

Thorn, G. 1997.The fungi in soil. In. Modern Soil Mycorobiology, Elsas et al (eds). Marcel Dekker, New York – Basel. Pp: 63 – 127.

Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gajah Mada University Press. Yoyakarta.

Wijaya S, 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma Harzia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar